Monday, July 30, 2007

TDA 10 hari

Tidak terasa sudah 10 hari aku menjadi tuan atas diriku sendiri. Terlepas dari rutinitas sebagai TDB. Nyantai sambil menikmati kehidupanku sendiri terbebas dari kewajiban harus ngantor, terlepas dari keharusan mikirin kerjaan, bebas dari dikejar-kejar deadline, terhindar dari kemacetan jalanan ibukota. Nyaman sekali. ‘Membuat hidup menjadi lebih hidup’ kalau boleh mengutip salah satu jargon iklan rokok. Kebetulan, anak-anak juga pas liburan sekolah, so kemanapun mereka kepingin pergi ya sebisanya aku turuti. Jalan-jalan ke luar kota lah, nyari makan siang di Bogor lah, kepingin ke Mall lah, ke toko buku lah. Kan mumpung bisa membahagiakan keluarga.

Saat anak-anak mulai masuk sekolah di tahun ajaran baru ini, rutinitas pun mulai sedikit menyitaku, karena supir yang biasa mengantar mereka sekolah telah minta berhenti, mau nggak mau aku lah yang harus mengantarkan ke sekolah. Tapi nggak apa-apa, toh sepulang dari mengantar mereka sekolah, aku bisa tidur lagi dan nggak perlu bermacet ria menuju ke kantor. Kalau kebetulan istri minta diantar ke pasar pun bisa kuladeni. Bahkan berolahraga bersama di komplek perumahan pun bisa kita nikmati berdua. Semuanya ini kan nggak mungkin bisa kalau aku terjebak rutinitas ‘ngantor’. Sayangnya, aku juga jadi males buka email dan buka blog, makanya banyak ketinggalan berita juga [gawat ya…].

Agak siang sedikit, mulailah bikin acara sendiri dengan istri, jalan-jalan ke Citos terus nongkrong di Starbuck lah atau yang sering ngubek-ngubek toko buku Gramedia. Pokoknya hari-hariku hanya untuk kegiatan yang di luar kebiasaan sehari-hari. Nganter istri ke Carrefour lah, ke ITC Ambassador lah, ke rumah temennya lah. Sengaja sebagian besar waktuku memang kuhabiskan untuk menikmati hidup tanpa mikirin yang berat-berat. Kalau kebetulan jam 3-an kepingin pulang [mumpung belum macet] sekalian mampir jemput ke sekolahnya anak-anak. [Tapi yang sering anak-anakku lebih seneng pulang barengan temen-temennya]

Rasanya selama 10 hari ini hidupku bener-bener berkualitas, baik untuk diri pribadi maupun keluargaku. Terus kalau coba aku renungkan lebih dalam lagi, ternyata aku ini memang tipe orang yang suka menikmati waktuku untuk kenikmatan diri sendiri dan keluarga [pokoknya enjoy aja]. Beneran lho nikmatnya membayangkan 'nggak perlu mikir' kerja kantoran tapi punya duit cukup untuk memenuhi segala kebutuhan hidup. So pengalaman menjadi TDA 10 hari ini bener-bener menjadi trigger bagi diri pribadi untuk sesegera mungkin memiliki usaha yang mapan dan mampu menjadi andalan tatkala nanti sepenuhnya pindah status dari amphibi ke TDA. Semoga.

Sungguh, menjadi TDA 10 hari saja sudah membuatku bisa menikmati segala keberlimpahan dari Allah SWT, gimana kalau aku sudah TDA seterusnya dan berpenghasilan pasif yang melimpah ya? Tentunya akan lebih dari itu. Bisa menunaikan ibadah haji, bisa bersedaqoh, bisa membantu memberdayakan kaum dluafha, bisa membantu membuka lapangan kerja, bisa memberi, bisa berbagi… pokoknya bisa menjadi tangan di atas…

Sepertinya, apa yang kita semua perjuangkan memang benar adanya, menjadi TDA itu adalah kewajiban. Bersyukurlah bagi semua teman-teman yang sudah TDA, karena menjadi TDA itu memang nikmat luar biasa. Rasanya kehidupan memang menjadi betul-betul berkualitas… dan lebih bermakna bagi diri pribadi dan keluarga… hehehe…

Ya Allah kabulkanlah doaku untuk bisa menikmati kehidupan berkualitas seperti ini seterusnya lebih dari 10 hari aku cuti ini. Amin.

Endro Wahyu M
TNM-E20
Email: endrowm@yahoo.com

‘menjadi tangan di atas, hidup lebih berkualitas’

Saturday, July 28, 2007

Ya Allah ampunilah hambamu ini… saat ini baru 19 anak yang bisa kubantu

,

Menjelang tahun ajaran baru kemarin menjadi hari yang paling sibuk dan deg-degan bagi sejumlah orang tua yang buah hatinya sudah duduk di bangku sekolah. Ada saja kebutuhan yang harus disiapkan agar proses belajar anak menjadi lancar nantinya. Begitu juga yang saya dan istri alami, selain harus menyiapkan dana untuk daftar ulang kedua anak saya, masih banyak keperluan dan perlengkapan sekolah yang harus dipenuhi seperti : buku, sepatu, alat tulis, seragam dsb. Memang dana untuk keperluan ini sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, tapi tetap saja prakteknya jumlahnya melebihi yang sudah direncanakan.

Tanggal 10 Juli 2007, setibanya di rumah dari sekolah anakku membereskan urusan administrasi, tiba-tiba muncul Afni, salah seorang anak yatim klas 5 SD, yang memang sering main ke rumah [selama ini Afni & 3 saudaranya memang setiap bulan kami bantu meskipun hanya sedikit]. Ia pun mengeluhkan tentang biaya daftar ulang dan untuk beli buku. Istriku memang sering berpesan kepadanya kalau ada kebutuhan untuk sekolah yang mendesak, selama ‘kita bisa’ pasti dibantu.

Saat itu pulalah, aku merasa ‘diingatkan’ bahwa pada sebagian harta kita ada hak untuk orang lain yaitu untuk mereka yang lemah [dhuafa], ada hak anak-anak yatim, piatu & yatim piatu yang harus segera aku berikan. Rasulullah juga mengajarkan kepada setiap umatnya untuk selalu membantu mereka-mereka ini. Tak hanya itu, infak dan sedekah pun merupakan wujud kesadaran tertinggi akan sebuah makna kepemilikan setiap sen harta yang kita peroleh. Apapun bentuknya, harta yang kita miliki saat ini adalah salah satu nikmat yang Allah berikan kepada setiap hamba-Nya. Jadi sudah seharusnya bila dibagikan pula kepada yang berhak.

Moment-nya sangat tepat, mereka saat ini jelas memerlukan bantuan untuk memulai sekolah kembali. Apalagi aku sudah sepakat dengan temen-temen mastermind TDA-Jakarta Timur untuk bersedaqoh minimal 20% dari hasil usaha yang kita peroleh. Biasanya menjelang Idul Fitri dan bulan Januari, santunan ke anak yatim/piatu ini kita sumbangkan ke sebuah yayasan di daerah Jatiwaringin [sekaligus kedua anakku juga biar punya kepedulian & empati tatkala berinteraksi dengan mereka di asrama]. Tapi kali ini, aku terpikir untuk memberikannya ke mereka yang ada di dekat lingkungan komplek tempat tinggal kita [jadi memang harus dicari].

Langsung aku berunding dengan istri untuk mengumpulkan anak-anak yatim, piatu dan yatim piatu yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal kita. Dana yang ada untuk program ini, setelah diperhitungkan dengan cermat selayaknya dapat dibagikan kepada 20 anak. Esensinya nya lebih ke arah membantu meringankan beban para anak yatim, piatu & yatim piatu yang masih sekolah [terserah uangnya nanti mau dipakai untuk apa : daftar ulang, beli buku pelajaran, beli perlengkapan sekolah atau apa saja]. Paket buku tulis dan alat tulis sudah disiapkan oleh istriku dan siap dibagikan.

Tanggal 15 Juli 2007 pk. 16.00 [besoknya kan sudah tahun ajaran baru], akhirnya ada 19 anak yatim/piatu dan yatim piatu yang bisa datang, di hari itu pula kami mengundang pak ustadz Sukarman [dari perguruan SMP/SMA Hutama] untuk sedikit memberi masukan dan siraman rohani kepada kami sekeluarga dan 19 anak tsb. Akhirnya, acara selesai dengan baik pk. 16.30.

Ya Allah ampunilah hambamu ini… saat ini baru 19 anak yang bisa kubantu

Thursday, July 12, 2007

Sebuah 'era baru' sudah bergulir di 'jagad' TDA

Dunia ini memang terus berubah dan mengalami pembaruan. 10 tahun yang lalu mana pernah kita membayangkan seperti saat ini, yaitu betapa mudahnya kita berkomunikasi melalui jalur internet seperti milis atau pun blog. Saat ini, serasa dunia ini menjadi tanpa batas lagi. Melalui internet, milis & blog kita bisa berkomunikasi dengan siapa pun juga termasuk di belahan dunia manapun.

Kalau beberapa waktu yang lalu, pak Roni Yuzirman, jendral TDA [Tangan Di Atas], pernah menghimbau agar member komunitas TDA memiliki blog [sebagai ajang sharing, berbagi ilmu, berbagi peluang, dsb.] ternyata memang benar adanya. Sungguh begitu besar manfaatnya. Tujuannya jangka panjang jelas agar kita semua nantinya dapat memaksimalkan ‘media baru’ ini untuk kepentingan bisnis dan pemberdayaan masyarakat banyak. Jadi, jangan remehkan blog dan para bloggernya lho.

Saya pernah baca berita tentang betapa dahsyatnya peran blog di negeri jiran. Sebuah kontroversi pernah terjadi di Singapura. Sebuah yayasan pengumpul dana sosial, National Kidney Foundation [NKF], didemo publik karena dinilai melakukan penyimpangan [konon hampir 2/3 rakyat Singapura pendonor yayasan ini]. Gaji direktur utamanya 600 ribu dolar Singapura per tahun dan terus menerus bepergian naik pesawat terbang kelas bisnis, padahal kan uang yang digunakan milik yayasan, hasil sumbangan masyarakat. Seharusnya yayasan sosial bertindak lebih spiritual dan lebih etis. Lantas publik pun berdemo ria, mencaci maki yayasan itu lewat internet, lewat blog khususnya [unik ya…]. Hasilnya, sukses. Direktur utama berikut wakil-wakilnya mengundurkan diri dari jabatannya dan kemudian diadili. Bahkan parlemen Singapura pun selama dua hari penuh berdebat tentang skandal ini.

Kembali ke komunitas TDA, kalau kita kaji, peran internet, blog dan milis memang betul-betul dahsyat adanya. Komunitas jaringan kerja yang saat ini anggotanya lebih dari 1000 [kalau nggak salah] bermula hanya dari blognya pak Roni Yuzirman [salut pak]. Saking banyaknya pengunjung blognya dan menyambut energi positif yang ditebar, sang Jendral pun bikin acara talk show dengan pak H. Allay yang menghasilkan para pesertanya take action bersama. After talk show tsb. mulailah terbentuk komunitas TDA, yang hari demi hari kian berkembang dan berubah menjadi kian besar yang membawa dampak positif kepada para anggotanya, seperti yang telah kita ketahui bersama saat ini. Semua ini kan diawali dengan niat baik dan tanpa pamrih para foundernya untuk menebar rahmat, berbagi ilmu, berbagi peluang, berbagi kesempatan, berbagi dan berbagi…

Sebagai wadah komunikasi dan berinteraksi di ‘era baru’, blog ternyata mampu memberikan sumbangan besar bagi tatanan dunia baru yang lebih terbuka, serba cepat, serba mudah, dan serba bebas berpendapat. Dan berbahagialah bagi mereka yang mampu memanfaatkan blog sebagai ‘media baru’ untuk bisnis. Lihat saja postingan di milis TDA akhir-akhir ini, banyak yang sharing tentang kesuksesannya jualan hingga ke Luar Negeri, dapat orderan gede, dsb. [selamat ya]. Ini berarti hanya mereka-mereka yang mau berubah dan mengikuti trend pembaruan lah yang akan selalu mampu mencetak keberhasilan demi keberhasilan.

Belajar dari kasus suksesnya blogger Singapura dan dahsyatnya blog pak Roni Yuzirman yang belum genap 2 tahun sudah berdampak luar biasa, tiba saatnya kita semua juga ikut memaksimalkan kebiasaan nge-blog kita masing-masing.

Terlebih lagi, yang namanya blog kan sudah menjadi sarana ‘biasa’ bagi para TDA-ers. Ditambah jaringan kerja lewat milis komunitas TDA juga sudah ada. Dan tentunya, komunitas ini kan sudah menjadi milik bersama [bukan milik para foundernya saja]. Alangkah lebih dahsyat lagi kalau semua anggotanya melalui blog masing-masing dapat meng-copy paste langkah-langkah para jendral TDA untuk menularkan ‘nilai-nilai luhur’, menebar rahmat, berbagi ilmu, berbagi peluang, berbagi… dan berbagi… demi bangkitnya TDA-ers yang lebih banyak lagi [memasyarakatkan TDA dan men-TDA-kan masyarakat].

Tugas kita bersama adalah menjadikan blog, yang ‘biasa’ menurut kita, menjadi sebuah gerakan yang nantinya akan menjadi ‘luar biasa’ dampaknya bagi masyarakat luas. Kewajiban kita bersama pula untuk menggawanginya, mengingat sebuah ‘era baru’ telah bergulir di jagad TDA.

Saya yakin energi positif dari 1000 lebih TDA-ers kalau ditebar akan bergulir membentuk bola salju yang makin lama makin besar dan dahsyat untuk menjawab cita-cita bersama TDA [yang selalu disampaikan pak H.Allay], di tahun 2020 Indonesia akan terbebas dari kemiskinan. Amin.

Endro Wahyu M
TNM-E20
endrowm@yahoo.com

‘berbagi inspirasi akan lebih berarti’

Thursday, July 5, 2007

Good & Evil

Eiit jangan terlalu serius. Ada saatnya kita break sebentar dari rutinitas sehari-hari. Marilah melatih diri sejenak tentang cara kita memandang sesuatu, agar tidak hanya melihat yang tersurat tetapi juga memaknai yang tersirat.

Let's play with some words.
What do you see?
In black you can read the word GOOD, in white the word EVIL (inside each black letter is a white letter). It's all very physiological too, because it visualize the concept that good can't exist without evil (or the absence of good is evil ).

Wednesday, July 4, 2007

Apa sih yang nggak bisa dijual?

Tadi pagi sambil berangkat ‘ngantor’, saya iseng mampir ke bursa barang loak di Jatinegara Timur, setelah lebih dari 3 bulan tidak saya kunjungi. Ritual ‘ngobok-ngobok’ barang bekas di bursa loak Jatinegara ini sudah lebih dari 4 tahun saya jalani, 2 kali seminggu, selain juga Jl. Surabaya, dan Poncol. Biasanya waktu yang saya habiskan untuk kegiatan ini bisa sampai 2 jam. Karena begitu nemu barang bekas yang bisa saya koleksi, rasanya dapat keasyikan tersendiri.

Kebetulan salah satu hobi saya adalah menjadi pemulung barang bekas. Kalau pak Glen Sompie pemulung ilmu, saya pemulung beneran. Dari SMP kalau main ke rumah temen pasti sekalian hunting [biasanya perangko, korek api, buku bacaan, majalah dan bahkan barang bekas yang ada di gudangnya juga sering saya sasar].

Saat ini saya menyimpan koleksi jam dinding lonceng antik, jam beker, jam tangan otomatis & puteran, mainan dari kaleng [tin toys], komik, cerita silat kho ping ho, korek api Zippo [walaupun saya tidak merokok], perangko, uang kuno, rokok kretek merk local apa saja, patung, lukisan, lampu antik, dan apa aja yang kebetulan saya lihat & suka pasti saya coba tawar dan kalau cocok saya beli. [Mimpi saya, di hari tua nanti punya rumah makan yang merangkap gallery seni, barang antic, dan barang koleksi].

Sebenarnya ini merupakan salah satu peluang bisnis yang cukup bagus dan pemainnya juga belum banyak. Pernah waktu saya dapat jam beker saku buatan Jerman dalam kondisi jalan, taksiran saya buatan tahun 1960-an teman saya berani beli Rp 150,000 karena mengingatkan kepada mendiang kakeknya. Padahal barang tersebut saya peroleh hanya dengan Rp 20,000. Tapi karena saya sendiri menyukainya dan termasuk langka [belum tentu nemu lagi] ya nggak saya lepas. Kecuali jam beker manual bikinan China tahun 1970-an, kalau saya sudah punya 2 item yang sama, kalau pas ada temen kantor yang mau saya lepas Rp 30,000 [yang model begini saya beli cuma Rp 12,000 an]. Pernah juga nemu jam dinding Junghans antik [Rp 700,000], ditawar tamu saya Rp 1,500,000.

Dalam sharing kali ini, saya bukan mau cerita temuan-temuan barang koleksi [meskipun ini menarik buat saya], tapi saya coba ceritakan apa yang saya bisa pelajari dari pasar loak ini.

Don’t worry …apa aja bisa dijual kok

Bagi temen-temen yang kepingin dapat wawasan baru dan kepingin dapat inspirasi jualan, sebaiknya sekali-sekali observasi ke tempat bursa loak seperti ini. Kalau kita amati secara seksama, ternyata barang apa saja dan bahkan sudah bekas pun bisa dijual di sini. Mulai dari jam bekas, monitor bekas, spion mobil, lampu, buku, lukisan, dsb.

Uniknya, yang namanya pembeli itu ternyata ya ada aja. Rejeki dari Allah SWT yang unlimited pun ternyata bisa dijemput oleh para praktisi barang loak ini. Salah satu kios langganan barang antik saya, malah ketiga anaknya kuliah semua.

Jadi kalau barang bekas bisa menjadi sumber rejeki, berarti kan barang yang baru seharusnya lebih PeDe untuk dijual dan menjadi sumber rejeki. Yakinkan diri sendiri bahwa kalau kita niat apa saja bisa jadi duit.

Spirit dan alur bisnisnya

Yang juga menarik untuk diamati adalah spirit ‘jualannya’. Begitu kita memasuki kawasan ini, langsung terasa atmosphere suasana pasarnya yaitu bertemunya ‘demand’ dan ‘supply’. Ramai sekali, apalagi kalau masih pagi jam 7-an di mana barang baru datang dan digelar. Hampir semua lapak pasti banyak yang merubunginya. Buat saya ini menarik sekali.

Masing-masing lapak ternyata punya pemasok sendiri-sendiri. Pemasok ini datang dengan barang segerobak yang isinya bisa segala macam dan biasanya langsung minta diborong ‘gelondongan’ ke lapak langganannya. Saat baru diborong dan baru dipilah-pilah inilah saat yang tepat untuk mencari barang yang ‘layak’ beli [saya sering dapat jam saku ataupun jam beker masih bagus dan murah]. Kalau ketemu ya langsung dibeli aja. Dealnya lebih gampang dan cepat karena pemilik lapak juga kepinginnya modal yang digunakan untuk memborong tadi harus cepat kembali.

Kalau barang tadi sudah dipilah-pilah, dan pemilik lapak sudah menaksir, mengamati, dan mengutak-atik ternyata barang tersebut ‘layak’ dan nggak ada yang rusak, harganya akan lebih mahal. Apalagi kalau sudah di atas jam 10-an, saat lapak harus hengkang dari jalanan, biasanya barang-barang yang ada akan dijual borongan juga ke pemilik kios permanent, harga barang pun jatuhnya akan lebih mahal lagi. Jam beker lipat [made in German] yang kalau di lapak cuma Rp 15,000, di kios naik pangkat menjadi Rp 35,000 hingga 50,000.

Spesialisasi

Beda dengan para lapak-ers yang jualannya campur aduk, kalau diamati para pemilik kios lebih mengarah ke spesialisasi. Jadi ada kios khusus yang jual HP bekas & aksesorisnya, kios buku & majalah, kios barang antik, kios jam, kios computer & macem-macemnya, kios jaket, dsb. Yang model begini cukup memudahkan bagi pembeli yang hendak mencari sesuatu barang. Tetapi hati-hati yang sering, barang yang dijual juga sudah hasil kanibalisai. Tapi so what? Kalau emang barang yang dicari penting banget buat kita.

Saya pernah cari spion Mitshubishi Kuda yang pecah disenggol angkot, tapi nggak ada. Karena yang banyak justru spion Kijang & Carry. Akhirnya saya ditunjukkan tempat orang yang bisa ‘mengakalinya’ nggak jauh dari situ. Jadi dicarikan kaca spion yang lebih lebar lalu dipotong dibentuk persis aslinya punya Kuda, lalu dipasang ke dudukannya, hasilnya rapi banget dan nyaris sempurna. Biayanya Cuma Rp 40,000. Bayangkan kalau mesti beli baru yang sekitar Rp 400,000 an sebelah dan harus beli sepasang. Tukang spion ini juga cerita, bahwa dia sering di-order oleh bengkel-bengkel mobil sekitar Kampung Melayu untuk ngakali spion, yang mana bengkel akan nge-charge pemilik mobil Rp 150,000 –an.

Pengetahuan terhadap barang yg dijual

Berbeda dengan mereka yang ngelapak, para pemilik kios biasanya lebih pintar dan tahu akan nilai barang yang dijualnya. Itu yang membuat barang-barang di kiosnya jadi lebih mahal harganya. Barang seperti jam beker, atau jam saku, harga akan berbeda antara jam buatan jerman dengan buatan jepang, atau china. Tahun pembuatannya juga bisa mempengaruhi harga, tahun yang lebih kuno, dengan kondisi bagus, pasti sulit untuk ditawar.

Begitu juga untuk buku bacaan Kho Ping Ho, Winnetou-nya Karl May, kalau masih komplit dan serinya yang nggak ada di toko buku saat ini, pasti akan dijual mahal. Komik Trigan, komik silat karangan Teguh & Yan Mintaraga juga harganya lebih mahal dibanding komik lainnya. Koleksi yang seperti ini juga susah didapat, belum tentu setiap kali ke sana bisa ketemu. Makanya kalau pas ada, asal harganya masuk akal biasanya saya beli.

Pelajaran yang bisa dipetik, kalau kita jualan apapun, kita mesti tahu positioning produk kita, serta positioning para competitor. Setidaknya kita juga harus bisa menjelaskan apa kelebihan barang kita dibanding milik competitor kita. Bagaimana harga kita dibanding competitor, dan masih banyak lagi. Jadi secara sadar saya pribadi harus lebih banyak belajar lagi di jagad bisnis yang saya tekuni saat ini.

Begitulah cerita hobi saya sebagai pemulung, mudah-mudahan nggak ada yang menirunya, hehehe… Sebenarnya masih banyak yang kepingin disharing di sini tapi mengingat keterbatasan ruang & waktu milik saya, lain kali akan saya lanjutkan.

Endro Wahyu M
TNM-E20
endrowm@yahoo.com

'hobi yang ditekuni bisa jadi sumber rezeki' [kapan ya???]

Tuesday, July 3, 2007

Kalau 'gak ikut main ya 'gak bakal menang

Banyak sekali orang kepingin menjadi pengusaha. Tapi banyak juga yang cuma berhenti hanya pada tataran gagasan, sekadar wacana atau malah tinggal keinginan doank untuk punya usaha sendiri terus selesai. Semangatnya ada, tapi nggak dilanjutkan untuk take action. Kalau ditanya jawabannya hampir seragam : nunggu modal terkumpul, masih dihitung & dianalisa, takut gagal, nunggu waktu yang tepat dan nunggu peluang, nggak punya pengalaman, bingung mau bikin usaha apa?, dan masih banyak pembenaran lainnya.

Modalnya niat & komitmen

Masalah tersedianya modal memang penting. Salah satu solusi adalah dengan menghimpun modal, kalau menjadi karyawan, ya harus menyisihkan dan ditabung sedikit demi sedikit. Tapi biasanya kalau sudah terkumpul sampai puluhan juta atau ratusan juta, seringkali malah takut rugi, kan ngumpulinnya susah. Akhirnya ya nggak akan mulai-mulai untuk take action. Lebih baik mulai take action dulu dengan modal seadanya sambil terus belajar.

Kalau punya reputasi yang baik dan mudah dipercaya, modal pinjaman dari orang lain [dari teman, saudara, orang tua, mertua, kantor dsb.] juga bisa menjadi alternatif. Cara ini biasanya kemungkinan berhasilnya cukup besar, asalkan nggak terlalu besar nilai pinjamannya. Memang sebaiknya kalau baru memulai usaha dan belum punya pengalaman, sebaiknya pinjamannya juga jangan terlalu besar karena di usaha pertama, kemungkinan gagalnya cukup besar.
Bisa juga modal untuk usaha diperoleh dengan bekerja sama. Ide usaha sudah ada, tapi modalnya kurang, ya lebih baik ditawarkan ke teman, saudara atau siapa saja yang punya dana nganggur. Tawarkan sistem bagi hasil yang win-win solution, pasti banyak juga yang berminat untuk invest mewujudkan ide usaha tsb.

Dari paparan ini menjadi jelas, bahwa alasan ‘nggak mulai take action karena ‘nggak punya modal bisa diatasi dengan bagaimana kita memutar otak untuk menghimpun dana atau modal usaha.

Kebanyakan menghitung dan analisa

Banyak juga di antara kita yang nggak jadi take action karena kebanyakan menghitung dan menganalisa. Jadi bukan semangat untuk take actionnya yang dikedepankan tapi malah hitungan dan analisa usaha yang njlimet yang terus dipikirin. Akhirnya ya nggak berani juga untuk take action. Memang hitungan dan anlisa itu penting, tapi kalau kebanyakan berkutat di masalah itu ya mandeg juga.

Ada juga yang maunya sangat idealis. Kalau bisa usaha itu langsung besar dan fasilitasnya komplit, tempatnya di mal & tempat bisnis, atau pinggir jalan, untuk angkutannya harus sudah punya mobil sendiri, dsb. Pas dihitung ternyata kebutuhan dananya menjadi sangat besar. Akhirnya nggak take action juga. Ditawarkan ke investor pun kalau belum ada track record bahwa usaha kita berhasil [karena belum pernah mulai] pastinya juga nggak akan ada yang mau invest.

Ingat dalam memulai usaha itu yang penting kan bertindaknya atau take actionnya dulu. Jadi kalau memang niat bisa mulai dari garasi rumah, ngelapak, di depan gang, atau cari kios gratisan pun nggak masalah. Yang penting niat dan komitmen. Kalau sudah niat pasti ada jalan keluarnya, saat kita menghadapi masalah.

Kata mereka yang sudah take action dan sudah jadi pengusaha, sebaiknya mulai usaha jangan yang langsung besar & butuh modal banyak. Jalani aja usaha dari skala kecil dulu. Yang penting kita siap mental, kalau usaha yang dirintis ini gagal nggak merasa ‘sakit’, saat menanggung resikonya.

’Nggak gagal, ya nggak belajar

Survey di AS memaparkan bahwa semua usaha yang baru dirintis, dalam 5 tahun pertama 80% mengalami kegagalan. Yang 20% dalam 5 tahun ke-2 , 80%-nya juga akan mengalami kegagalan, nggak berkembang maju atau ganti usaha. Artinya kalau hari ini ada 1000 usaha baru, maka di tahun 2012 hanya akan bersisa 200. Tahun 2017 sisa 40, yang mampu bertahan hidup dan berkembang maju. Sisanya bubar, ganti usaha, atau jalan di tempat.

Data di atas sebaiknya jangan dijadikan fakta yang membuat takut untuk memulai usaha, tapi justru harus dijadikan masukan positif bagi persiapan mental bahwa kita harus berani menerima kenyataan seandainya mengalami kegagalan. Kalau toh gagal ya siap untuk bangkit dan mencoba lagi usaha. Ingat kalau ‘gak pernah gagal, berarti kita ‘gak pernah belajar. Anggap saja modal usaha yang amblas saat gagal memulai usaha sebagai biaya belajar. Karena seringkali kita temui orang yang mulai usaha, kemudian gagal terus kapok atau jera dan nggak mau usaha lagi.

Takut gagal? Yang ini memang adanya di bagian mental kita. Benar, dan kita harus jujur pada diri sendiri bahwa yang namanya memulai usaha pasti dihadapkan dengan kemungkinan mengalami kegagalan. Tidak ada yang berani memastikan dan menjamin 100% bahwa usaha kita pasti berhasil dan langsung melaju… wess… wess… [tapi ada juga sih yang mulai usaha terus langsung sukses dan melejit] So, jangan gara-gara takut gagal terus nggak jadi take action.

Yang namanya resiko pasti ada, tapi seharusnya bisa dikendalikan asal punya persiapan dan mau belajar dari pengalaman orang lain, dari buku, atau dari mana saja pengetahuan tentang usaha tsb bisa diperoleh.

Nunggu waktu yang tepat dan nunggu peluang

Ingat menunggu itu juga harus ada batasan waktunya. Di dalam dunia bisnis, kalau terlalu lama menunggu akhirnya ya nunggu terus sampai kita tersadar ternyata sudah ketinggalan dan sudah tua untuk memulai, akhirnya takut untuk ambil resiko. Yang namanya peluang itu ya harus diciptakan. Jadi kalau ditanya kapan sebaiknya kita buka usaha, ya sekarang juga. Kalau pun kita nggak take action buka usaha, bisa jadi orang lain lah yang ambil kesempatan take action. Ingat di dunia ini hanya satu yang selalu berlalu begitu cepat meninggalkan kita yaitu : ‘waktu’. Dan waktu tidak pernah bisa kita rewind kembali.

Pengalaman saya mulai usaha 4 tahun yang lalu, hasilnya bisa dirasakan saat ini. Yang namanya keran passive income dari beberapa usaha, saat ini mengalir terus. Memang jumlahnya belum seperti mimpi saya, tapi wajib saya syukuri. Bayangkan kalau 4 tahun yang lalu nggak take action, barangkali ya sampai sekarang tetap saja nggak punya usaha. Dan saat ini saya nggak merasakan nikmatnya ‘nemu duit’ dari usaha yang kita bangun.

So, jangan alasan nunggu waktu dan nunggu peluang menjadi pembenaran untuk tidak take action. Saran saya bagi yang belum take action, cobalah take action sekarang juga, lalu nikmati prosesnya, fokus dan belajar terus dengan bisnis yang telah dipilih untuk ditekuni, tunggu hasilnya… pasti luar biasa

Nggak punya pengalaman

Semua pengusaha sukses saat ini kalau ditanya apakah pada waktu memulai usaha sudah punya pengalaman?. Pasti semua menjawab bahwa mereka memulai usaha dengan modal nekad dan ‘terjun bebas’. Justru kenekatan untuk take action itu yang menjadi pengalaman terindah dan dikenang seumur hidupnya. Dan kalau kita nggak memulai take action buka usaha, ya nggak bakalan punya pengalaman.

Jadi nggak perlu mikir belum atau sudah punya pengalaman. Kalau sudah niat buka usaha ya jalani saja. Sambil berjalannya waktu dan menikmati suka dukanya kita bisa banyak mendapatkan pengalaman nyata menjadi pengusaha. Percayalah begitu kita take action buka usaha bakal banyak tantangan dan wawasan baru yang bakalan memperkaya pengalaman kita dalam berbisnis. Dari pengalaman itulah kita belajar untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.

Cari usaha yang dibutuhkan orang?

Bingung mau usaha apa? Ini juga alasan lain yang sering digunakan untuk mereka yang nggak mulai take action. Kalau ngomongin mau bisnis apa, kita bisa belajar dari buku, majalah bisnis, atau mengamati sekeliling kita. Kira-kira apa sih yang dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar tempat tinggal kita. Kita juga bisa mulai usaha dengan menjadi reseller produk-produk milik siapa saja.

Tapi ingat kalau hanya berkutat ‘mau usaha apa ya?’ takutnya sampai kapan pun juga belum tentu take action memulai usaha. Sekali lagi mulai saja usaha apa saja yang bisa kita jalani dengan skala kecil dulu. Yang penting take action dulu, secara perlahan dan sambil berjalan kita belajar lagi lebih banyak seluyk beluk usaha yang kita jalani. Pokoknya yang penting mulai dulu. Tapi ingat jangan membabi buta, kalkulasikan berapa resikonya.

Saya jadi ingat pengarahan dari pak H.Allay di depan kios yang mau dipinjamkan saat mau take action buka toko sepatu di Pusat Grosir Metro Tanah Abang, September 2006 yang lalu. “Jadilah pelaku ekonomi jangan cuma jadi pengamat ekonomi! Nggak ada pengamat ekonomi yang kaya tapi lihatlah para pelaku ekonomi banyak yang sukses!” Jadi pada hakekatnya, buka usaha itu hanyalah sebuah permainan, kita hanya perlu tahu aturan mainnya, tahu bagaimana cara untuk memenangkan permainan. Tapi yang penting, kita harus ikut dan terlibat dalam permainan [play the game]. Kalau nggak ikut main ya nggak bakalan menang!

Endro Wahyu M
TNM-E20 [mastermind Jakarta Timur]
Email : endrowm@yahoo.com

‘kalau niat pengin usaha ya take action, kalau sudah take action ya harus niat’