Thursday, August 20, 2009

Marhaban Yaa Ramadhan

Puasa Ramadhan datang menjelang. Seperti yang lalu-lalu, bulan suci umat Islam ini memang sudah ditunggu-tunggu oleh kita semua. Melalui tulisan ini, saya mengajak semuanya yang diwajibkan menjalankan ibadah puasa, untuk menguatkan kembali niat dan semangat kita dalam menjalankan ibadah puasa kali ini.

Alangkah baiknya pula selama bukan suci ini bila kita bisa memperbanyak berdoa semoga Allah memberikan tenaga , kelapangan dan kesempatan nebgerjakan ibadah puasa ramadhan ini dengan sebaik-baiknya. Tentunya dengan harapan semoga Allah akan memberikan taufik & hidayahnya bagi kita semua, sehingga kita mengerjakan puasa dengan hati yang ikhlas dan hanya untuk mengharap ridho-Nya. Selain itu, bulan ramadhan juga dapat kita gunakan untuk mendidik diri, keluarga dan lingkungan terdekat kita ke arah pemantapan iman & taqwa kita semua kepada Allah SWT.

Untuk itu, saya mohon keikhlasannya Anda semua untuk memberikan maaf atas segala kekhilafan dan kesalahani baik berupa perkataan maupun tindakan. Marhaban Yaa Ramadhan, selamat menunaikan ibadah puasa, mohon maaf lahir & bathin.

Harapannya, semoga saya dan Anda semua dapat menyambut bulan suci Ramadhan --bulan nan penuh berkah, bulan pengampunan dan perjuangan-- dengan penuh sukacita, dan siap baik secara fisik, mental maupun ilmu sehingga nantinya kita semua bisa menjadi manusia baru yang mendapatkan segala berkah & kebaikan selama bulan Ramadhan ini, dan tentunya agar kita semua menjadi umat muslim yang lebih baik dari sebelumnya. Amin.

Friday, July 24, 2009

Menyigi Barang Bermerk dan Perilaku Konsumen

Apa sih yang mendorong konsumen kelas atas untuk memilih dan membeli barang yang bermerk [branded] dan eksklusif? Apalagi kalau mereka membelinya saat jalan-jalan ke London, Roma, Singapore, Bangkok, dsb. Fenomena ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana teman kita yang habis jalan-jalan ke manca Negara terus bercerita bahwa branded shoes-nya dibelinya di Paris. Meskipun pada kenyataannya barang yang dibeli tsb. sebenarnya juga dijual di Plaza Senayan.

Kalau kita kaji lebih lanjut, nampak bahwa barang bermerk [branded items] dibeli bukannya berdasarkan alasan tunggal karena orang membutuhkannya, tapi juga dari manfaatnya sebagai komponen social, banyak konsumen yang merasa lebih bangga karena membeli barang tsb di Hongkong, Singapura, dll.

Jelas terlihat dalam kasus ini bahwa ternyata konsumen tidak sekadar membeli barang bermerk, namun juga membeli sebuah pengalaman yang inheren dengan merk tsb. Yaitu kebanggaan untuk bercerita bahwa barang ini dibelinya ketika jalan-jalan di London. Eksklusifitas menjadi sangat penting di sini. Semakin sedikit & susah diperoleh akan semakin diburulah barang tsb. Contoh lain lagi, ketika Blackberry baru mulai keluar, banyak sekali pejabat pemerintah, wakil rakyat, para eksekutif muda, para trendsetter dll., yang berebut untuk memilikinya. Mereka menghargai eksklusifitas sebagai ‘pemilik yang pertama’ barang tsb. sebagai cara untuk mengaktualisasikan kelebihan mereka.

Jelas sekali bahwa keinginan untuk tampil berbeda dengan memiliki dan mengkonsumsi barang-barang bermerk tsb. memperlihatkan keinginan dasar manusia yang selalu ingin diakui oleh lingkungannya. Dan selalu ingin mengaktualisasi diri secara terbuka. Branded items atau barang-barang bermerk yang eksklusif pun berfungsi menjadi suatu pelepasan yang sangat mendasar bagi eksistensi manusia.

Di level social yang menengah, perilaku konsumen yang seperti di atas juga berlaku. Mereka juga menginginkan eksklusifitas. Dan fenomena inilah yang dimanfaatkan oleh para pengusaha yang jeli melihat peluang tsb. Lihat saja, sekarang begitu banyak Factory outlet bermunculan di kota-kota besar Indonesia. Rata-rata juga laris manis jualannya. Karena FO-FO ini berusaha memanfaatkan merek global untuk memuaskan dahaga konsumen yang ingin tampil eksklusif dengan barang-barang branded yang sejatinya tidak terbeli bila masuk ke gerai-gerai resmi principal International Branded Products tsb.

Begitu juga dengan menjamurnya Distro [distribution outlet] dipicu dengan semangat untuk menyajikan barang-barang yang eksklusif dan jumlahnya terbatas [limitasi]. Hanya saja yang dijual di sini kebanyakan merk-merk buatan sendiri namun tidak diproduksi secara massal. Biasanya barang yang dipajang di Distro jumlahnya nggak banyak, sehingga keunikannya tetap terjaga dan dicari oleh penggemarnya. Kalau punya anak ABG pasti pernah direpotkan dengan ulah mereka yang ‘ngotot’ untuk membeli pakaian yang diinginkannya di Distro-distro. Dan harganya pun juga jelasnya akan lebih mahal dibanding dengan barang sejenis yang ada di Toserba biasa.

Bagi mereka yang sudah punya usaha di bidang garmen dan sejenisnya barangkali juga perlu belajar lebih dalam lagi tentang trendsetter dan psikologi & perilaku dasar konsumen yang menjadi target marketnya. Siapa tahu begitu nge-click dan ketemu peluang usaha, Anda bisa menjadi trendsetter barang eksklusif [entah apa barangnya] yang nantinya diburu konsumen seperti kaos Dagadu, yang dipositioningkan sebagai oleh-oleh khas Yogyakarta. Kalau belum beli kaos Dagadu berarti belum keYogya. Atau juga Kaos Joger di Bali yang berhasil menjadi ikon Pulau Dewata tsb.

‘Berbagi’ di hari Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW






Tanggal 20 Juli 2009 kemarin adalah hari libur nasional berkaitan dengan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Tiba-tiba terpikir kok kepingin memaknai hari besar dan bersejarah bagi umat Islam ini dengan sesuatu yang bermanfaat. Memang untuk urusan agama & keimanan, kita sekeluarga berusaha untuk terus belajar dan belajar agar lebih baik lagi. Saya pribadi pun ingin mengajarkan kepada anak-anak apa saja kewajiban kita sebagai muslim yang harus dilakukan, tentunya agar di kemudian hari nanti ketika mereka sudah dewasa dapat menjadi umat muslim yang baik & benar yang selalu mengamalkan ajaran agamanya..

Setelah berembug dengan istri & anak-anak, akhirnya tercetus ide untuk berbagi dengan para anak yatim, piatu, dan dluafha. Mumpung juga masih terkait dengan dimulainya tahun ajaran baru, di mana banyak dari mereka yang membutuhkan biaya extra untuk membeli buku, seragam, dsb.

Dalam satu riwayat Nabi Muhammad SAW menegaskan : “Barang siapa di antara kaum muslimin yang menanggung makan dan minum anak yatim, maka Allah akan memberikan kecukupan penghidupan baginya, serta mengharuskan dia masuk surga kecuali bila dia melakukan dosa yang tak terampuni” [HR Turmudzi].

Mulailah kita bagi tugas. Aku & anak-anak menyiapkan tempat di rumah dan segala sesuatu yang diperlukan untuk acara ini.. Istri langsung ke rumah ustadz Nur Cahaya, [lulusan UIN yang juga guru ngaji anak-anak di rumah] untuk meminta kesediaannya memberi sedikit tauziah dalam acara tsb.

Sorenya, pk. 16.00 rombongan 20 anak-anak Yatim, Piatu & Dhluafa -- yang ada di sekitar komplek tempat kita tinggal – langsung berdatangan. Acara pun langsung kita mulai. Meskipun duduk berdesakan di karpet di ruang tamu kami, tapi nampak mereka semua gembira menerima undangan keluarga kami.

Ustadz Nur Cahaya memulai siraman rohaninya dengan mengingatkan kita tentang peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, dan pentingnya kita melaksanakan kewajiban Sholat 5 waktu. Kemudian dilanjut dengan cerita menarik yang membangkitkan semangat anak-anak Yatim, Piatu & Dhluafa agar tetap semangat belajar dan tetap focus kepada apa yang dicita-citakannya. Kalau kita mau berusaha pasti nantinya selalu ada jalan untuk meraihnya. Walaupun kondisi ekonomi kita serba minim, yang penting tetap semangat untuk bisa meraih prestasi sehingga nantinya kan bisa mendapat beasiswa dsb. Dan hal itu sudah dibuktikan oleh ustadz Nur Cahaya sendiri yang selalu mendapat beasiswa dan akhirnya telah berhasil lulus kuliah di UIN [Universitas Islam Negeri Jakarta].

Akhirnya, pk. 17.00 acara ini kita tutup dengan doa bersama. Sejujurnya, apa yang kita sekeluarga lakukan saat ini dalam hal berbagi dengan anak yatim, piatu & dhluafa memang belum seberapa bila dibandingkan dengan total kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Namun setidaknya tujuan saya untuk belajar menjadi umat muslim yang lebih baik dan mempraktekkannya serta mengamalkannya bersama istri & anak-anak bisa terlaksana. Karena buat apa kita menjadi umat muslim kalau tidak pernah mengamalkan ajarannya dalam kehidupan. Ya, Allah maafkan hambamu ini, karena baru 22 anak yatim, piatu & dhluafa yang saat ini bisa saya bantu. Semoga di lain kesempatan atas Kehendak-Mu Ya Allah bisa lebih banyak lagi anak yatim, piatu & dhluafa yang bisa saya bantu. Amin.

Saturday, May 30, 2009

Warga Negara = konsumen


Ngomongin isu bahwa salah satu cawapres adalah penganut faham ekonomi neoliberal benar nggak sih? Kalau saya melihatnya bahwa Negara kita entah kapan mulainya kok justru memang sudah masuk ke faham ekonomi neoliberal [entahlah apakah salah satu cawapres tsb. juga terlibat menjadi arsiteknya?]. Sadar nggak [entah sejak kapan] kita selau mendengar jargon ekonomi ‘pasar bebas’, ‘serahkan ke mekanisme pasar’, ‘privatisasi’, ‘deregulasi’, dsb. [apalagi ya?] yang jelas-jelas ini semua kan jargon yang diusung dari negara-negara berfaham neoliberal.

Terus secara nggak terasa dampaknya memang cukup mengerikan buat kita sebagai warga Negara. Yang tadinya sebagai warga Negara kita seharusnya dilindungi dan harus dipikirin oleh Negara, sekarang sebagai warga Negara di mata Negara kita hanya menjadi seperti layaknya konsumen yang menghuni sebuah Negara. Dan konyolnya seperti layaknya konsumen yang berada di dalam perekonoman pasar bebas, kita wajib untuk mengurus diri sendiri dengan dipaksa untuk terjun dalam aliran besar yang bernama pasar bebas tadi. Kita dipersilakan menjadi kaya raya [kalau bisa lho] sekaligus juga menjadi miskin [salah sendiri karena nggak mampu bersaing]. Kita dipersilakan jadi pandai sekaligus juga pastinya ada yang jadi bodoh [kalau nggak mampu sekolah]. Kita juga dipersilakan untuk berhasil meraih prestasi puncak & sukses tapi sekaligus juga dipersilakan menjadi terpuruk-puruk. Karena semua ini sudah bukan tanggung jawab Negara lagi untuk mengentas warga Negara dari keadaan yang dialaminya. Ingat kita ini kan konsumen dari sebuah mekanisme pasar bebas.

Jadi nggak heran kalau BBM mahal, rakyat nggak mampu beli minyak tanah untuk masak itu urusan konsumen, salah sendiri nggak mampu beli kan sudah dilepas ke mekanisme pasar. [Konversi minyak tanah ke gas saya yakin pasti juga ada kepentingan besar pengusaha di baliknya]. Begitu juga tatkala harga beras dan sembako lainnya melambung lalu rakyat menjerit, Negara nggak mampu mengontrolnya, paling-paling hanya ‘operasi pasar’ di tempat-tempat terbatas tentunya sambil berkilah itu sudah mekanisme pasar karena demand lagi naik dan supply nya terbatas jadi harga melonjak, nanti juga stabil lagi. Transportasi susah, salah sendiri kenapa nggak mampu beli kendaraan pribadi. Jalanan macet, salah sendiri kenapa nggak mampu bayar jalan tol. Pas lebaran atau pun hari libur tiket mahal, lha ini kan juga mekanisme pasar. Mau memasukkan anak ke sekolah negeri juga mahal [dikemas dalam bahasa ’iuran komite’], sadar nggak sadar secara nggak langsung sistem pendidikan di negeri ini kan sudah menganut ekonomi pasar bebas juga. Mau masuk ke perguruan tingi negeri milik Negara juga ada yang namanya jalur khusus, jalur mandiri, dsb. Yang ujung-ujungnya juga ‘do it’ dan duit yang puluhan hingga ratusan juta rupiah. Rakyat sakit dan mau berobat ke rumah sakit juga harus bayar mahal [kalau toh ada kartu askes, RS malah yang nolak]. Dan masih banyak lagi kalau mau kita kritisi lebih jauh lagi.

Nantinya di negeri tercinta ini yang kaya akan bertambah kaya, dan yang miskin akan malah terpuruk lebih dahsyat lagi. Jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin juga akan bertambah dalam dan lebar. Konyolnya mereka yang menjalankan roda pemerintahan akan selalu mengusahakan dirinya dan keluarganya untuk tetap terjamin keberkelimpahannya dan kesejahteraannya. Lihat saja rakyatnya terpuruk Negara mau bangkrut, gaji DPR dan para eksekutif negeri ini termasuk para pengelola BUMN justru malah berkelimpahan [rumah mewah ada di mana2, mobil mewah, anak sekolah di manca Negara, istri belanja ke kota-kota besar dunia, etc.]. Lebih konyol lagi, Negara pada prakteknya justru banyak melindungi kepentingan para pengusaha. Kalau ada sengketa antara pengusaha dan buruh, pastinya buruh yang dikalahkan. Begitu juga, lihat saja dengan mudahnya Negara memberikan ijin para pengusaha swasta untuk mengelola bidang-bidang yang menurut UUD 45 seharusnya menjadi tanggung jawab Negara, seperti bidang kesehatan & pendidikan. Bingung menyediakan lapangan kerja, warga negaranya dipersilakan untuk menjadi TKI yang bergaji murah tanpa memikirkan harkat & martabatnya sebagai warga Negara sebuah bangsa yang besar bernama Indonesia.

Dari paparan di atas, ‘sejatinya’ Negara kita tercinta ini kan sudah masuk ke jargon perekonomian neolib yang mendewakan ‘pasar bebas’ di mana warga Negara sudah bukan menjadi tanggung jawab Negara, tapi harus bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

Kembali ke urusan Capres & Cawapres tadi, kalau lihat yang dijanjikan untuk rakyat yang ada di slogan & jargonnya, kok saya jadi pesimis. Ada yang mengusung slogan ‘lanjutkan’, jadi apa maksudnya Negara yang sistemnya menjadikan warga negaranya untuk terus jadi konsumen-nya para pengusaha harus terus dilanjutkan? Kemudian ada juga yang mengusung slogan ‘lebih cepat lebih baik’, apa ini juga dimaksudkan system neolib yang secara nggak sadar dianut oleh Negara ini justru mau dipercepat lagi agar rakyat sebagai ‘konsumen’nya menjadi lebih terpuruk lagi? Terus yang satu lagi mengusung slogan ‘pro rakyat’, apa ya mungkin bisa merubah system Negara & birokrasi yang sudah berakar puluhan tahun seperti ini hanya dalam waktu 5 tahun, terus mengembalikan kepada ‘ekonomi kerakyatan’? Apa nggak malah nantinya nabrak ‘tembok’? Hehehehe…