Saturday, May 30, 2009

Warga Negara = konsumen


Ngomongin isu bahwa salah satu cawapres adalah penganut faham ekonomi neoliberal benar nggak sih? Kalau saya melihatnya bahwa Negara kita entah kapan mulainya kok justru memang sudah masuk ke faham ekonomi neoliberal [entahlah apakah salah satu cawapres tsb. juga terlibat menjadi arsiteknya?]. Sadar nggak [entah sejak kapan] kita selau mendengar jargon ekonomi ‘pasar bebas’, ‘serahkan ke mekanisme pasar’, ‘privatisasi’, ‘deregulasi’, dsb. [apalagi ya?] yang jelas-jelas ini semua kan jargon yang diusung dari negara-negara berfaham neoliberal.

Terus secara nggak terasa dampaknya memang cukup mengerikan buat kita sebagai warga Negara. Yang tadinya sebagai warga Negara kita seharusnya dilindungi dan harus dipikirin oleh Negara, sekarang sebagai warga Negara di mata Negara kita hanya menjadi seperti layaknya konsumen yang menghuni sebuah Negara. Dan konyolnya seperti layaknya konsumen yang berada di dalam perekonoman pasar bebas, kita wajib untuk mengurus diri sendiri dengan dipaksa untuk terjun dalam aliran besar yang bernama pasar bebas tadi. Kita dipersilakan menjadi kaya raya [kalau bisa lho] sekaligus juga menjadi miskin [salah sendiri karena nggak mampu bersaing]. Kita dipersilakan jadi pandai sekaligus juga pastinya ada yang jadi bodoh [kalau nggak mampu sekolah]. Kita juga dipersilakan untuk berhasil meraih prestasi puncak & sukses tapi sekaligus juga dipersilakan menjadi terpuruk-puruk. Karena semua ini sudah bukan tanggung jawab Negara lagi untuk mengentas warga Negara dari keadaan yang dialaminya. Ingat kita ini kan konsumen dari sebuah mekanisme pasar bebas.

Jadi nggak heran kalau BBM mahal, rakyat nggak mampu beli minyak tanah untuk masak itu urusan konsumen, salah sendiri nggak mampu beli kan sudah dilepas ke mekanisme pasar. [Konversi minyak tanah ke gas saya yakin pasti juga ada kepentingan besar pengusaha di baliknya]. Begitu juga tatkala harga beras dan sembako lainnya melambung lalu rakyat menjerit, Negara nggak mampu mengontrolnya, paling-paling hanya ‘operasi pasar’ di tempat-tempat terbatas tentunya sambil berkilah itu sudah mekanisme pasar karena demand lagi naik dan supply nya terbatas jadi harga melonjak, nanti juga stabil lagi. Transportasi susah, salah sendiri kenapa nggak mampu beli kendaraan pribadi. Jalanan macet, salah sendiri kenapa nggak mampu bayar jalan tol. Pas lebaran atau pun hari libur tiket mahal, lha ini kan juga mekanisme pasar. Mau memasukkan anak ke sekolah negeri juga mahal [dikemas dalam bahasa ’iuran komite’], sadar nggak sadar secara nggak langsung sistem pendidikan di negeri ini kan sudah menganut ekonomi pasar bebas juga. Mau masuk ke perguruan tingi negeri milik Negara juga ada yang namanya jalur khusus, jalur mandiri, dsb. Yang ujung-ujungnya juga ‘do it’ dan duit yang puluhan hingga ratusan juta rupiah. Rakyat sakit dan mau berobat ke rumah sakit juga harus bayar mahal [kalau toh ada kartu askes, RS malah yang nolak]. Dan masih banyak lagi kalau mau kita kritisi lebih jauh lagi.

Nantinya di negeri tercinta ini yang kaya akan bertambah kaya, dan yang miskin akan malah terpuruk lebih dahsyat lagi. Jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin juga akan bertambah dalam dan lebar. Konyolnya mereka yang menjalankan roda pemerintahan akan selalu mengusahakan dirinya dan keluarganya untuk tetap terjamin keberkelimpahannya dan kesejahteraannya. Lihat saja rakyatnya terpuruk Negara mau bangkrut, gaji DPR dan para eksekutif negeri ini termasuk para pengelola BUMN justru malah berkelimpahan [rumah mewah ada di mana2, mobil mewah, anak sekolah di manca Negara, istri belanja ke kota-kota besar dunia, etc.]. Lebih konyol lagi, Negara pada prakteknya justru banyak melindungi kepentingan para pengusaha. Kalau ada sengketa antara pengusaha dan buruh, pastinya buruh yang dikalahkan. Begitu juga, lihat saja dengan mudahnya Negara memberikan ijin para pengusaha swasta untuk mengelola bidang-bidang yang menurut UUD 45 seharusnya menjadi tanggung jawab Negara, seperti bidang kesehatan & pendidikan. Bingung menyediakan lapangan kerja, warga negaranya dipersilakan untuk menjadi TKI yang bergaji murah tanpa memikirkan harkat & martabatnya sebagai warga Negara sebuah bangsa yang besar bernama Indonesia.

Dari paparan di atas, ‘sejatinya’ Negara kita tercinta ini kan sudah masuk ke jargon perekonomian neolib yang mendewakan ‘pasar bebas’ di mana warga Negara sudah bukan menjadi tanggung jawab Negara, tapi harus bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

Kembali ke urusan Capres & Cawapres tadi, kalau lihat yang dijanjikan untuk rakyat yang ada di slogan & jargonnya, kok saya jadi pesimis. Ada yang mengusung slogan ‘lanjutkan’, jadi apa maksudnya Negara yang sistemnya menjadikan warga negaranya untuk terus jadi konsumen-nya para pengusaha harus terus dilanjutkan? Kemudian ada juga yang mengusung slogan ‘lebih cepat lebih baik’, apa ini juga dimaksudkan system neolib yang secara nggak sadar dianut oleh Negara ini justru mau dipercepat lagi agar rakyat sebagai ‘konsumen’nya menjadi lebih terpuruk lagi? Terus yang satu lagi mengusung slogan ‘pro rakyat’, apa ya mungkin bisa merubah system Negara & birokrasi yang sudah berakar puluhan tahun seperti ini hanya dalam waktu 5 tahun, terus mengembalikan kepada ‘ekonomi kerakyatan’? Apa nggak malah nantinya nabrak ‘tembok’? Hehehehe…