Sunday, June 12, 2011

Jangan sampai kalau sudah duduk, lupa berdiri...




Masih ingat salah satu iklan furniture yang slogannya : ‘kalau sudah duduk, lupa berdiri’, kan? Sebagai praktisi periklanan saya salut dengan pencipta slogan ini, karena pas dan cocok banget untuk menjelaskan positioning sekaligus kelebihan produk furniture tersebut. Tapi jangan salah, kalau kita mau belajar dari slogan ini, banyak hal yang bisa kita diskusikan lebih lanjut. Misal untuk menggambarkan situasi dan kondisi akhir-akhir ini di negeri tercinta ini.

Nah slogan ini cocok banget untuk diterapkan kepada para pemimpin, pejabat, dan para politisi di Republik ini. Begitulah, saking enaknya mereka menikmati ‘nyamannya’ kekuasaan dengan segala previlege-nya. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka-mereka ini sejatinya memang kecanduan menikmati kekuasaan. Kata rakus dan serakah barangkali predikat yang pas untuk dilekatkan pada mereka semua. Lihat saja, bagaimana mereka dengan segala macam cara selalu berusaha untuk dapat melanggengkan kekuasaannya. Saat menjadi pemimpin, yang seharusnya memikirkan bagaimana mengurus dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, mereka malahan asyik memikirkan kesejahteraan diri sendiri dan kelompoknya sekaligus berupaya bagaimana caranya dapat berkuasa kembali untuk periode yang selanjutnya. Inilah gambaran umum yang menggejala di republik tercinta ini.

Kalau kita terapkan dalam diskusi yang terkait bisnis kita, slogan ini juga sangat penting artinya. Jangan sampai kita terlena dan berleha-leha dengan apa yang telah kita capai selama ini. Atau bahasa sederhananya adalah cepat berpuas diri. Ingat, yang namanya dunia usaha itu selalu berubah dengan cepat. Kalau kita terlena dengan apa yang telah kita capai, rasanya nggak lama lagi bisnis kita bakalan ketinggalan kereta dunia usaha yang meluncur cepat.

Kepingin bukti? Lihat saja berapa banyak usaha yang sudah gulung tikar gara-gara tidak mampu membaca perubahan trend di pasar yang begitu cepatnya. Berapa banyak wartel, warnet yang gulung tikar gara-gara pesatnya teknologi informatika yang memungkinkan setiap orang sekarang ini bisa melakukan segala hal hanya melalui perangkat handphone di tangannya. Seolah dunia ada di dalam genggaman tangannya. Berapa banyak pengusaha jasa angkutan kota yang berada dalam kondisi senin-kemis gara-gara penumpangnya saat ini memilih mengendarai sepeda motor untuk kemudahan transportasinya.

Slogan ‘kalau sudah... duduk lupa berdiri’, kalau kita kaji lebih jauh juga menyiratkan akan pentingnya para business owner untuk selalu mengontrol diri, mengendalikan diri, dan lebih jauh lagi untuk selalu mengevaluasi kinerja usahanya, mengantisipasi perubahan trend di pasaran, dan menetapkan langkah-langkah perubahan yang diperlukan. Kalau perlu mencari dan menggali lagi peluang-peluang baru yang bisa digarap dan potensi-potensi baru yang belum dimiliki.

Kita juga harus selalu siap untuk melakukan pembaharuan sekaligus mencoba tantangan yang lebih sulit dalam usaha yang kita geluti, tentunya dengan tidak melupakan pengalaman-pengalaman di masa lalu sebagai referensi. Jangan biarkan pengalaman akan kegagalan yang pernah terjadi menjadi mental block yang membuat kita tidak berani sama sekali untuk keluar dari comfort zone yang telah kita capai saat ini. Tentunya, ini semua berangkat dari pemikiran kalau kita kepingin memiliki usaha yang lebih maju lagi.

Tuesday, June 7, 2011

Awas! Sama katanya bisa beda maknanya...




Ngomongin iklan tawaran sekolah ke luar negeri yang pernah marak di koran nasional, saya pernah punya pengalaman yang lucu tentang ini. Waktu itu, sebenarnya hanya iseng saja kepingin tahu, apa dan bagaimananya tawaran iklan tsb. Mulailah saya cari informasi via telpon, dan akhirnya diundang ke pertemuan dengan para orang tua lainnya yang juga kepingin tahu program yang ditawarkan.

Saya bukannya mau menceritakan paparan program dari penyelenggara jasa yang mengurusi sekolah ke luar negeri tsb. tapi lebih ke betapa antusiasnya para orang tua yang datang. Seorang ibu yang duduk di sebelah saya dengan dandanan bak hendak ke pesta lengkap dengan semua perhiasannya tiba-tiba menyapa dengan nada sedikit merendahkan karena melihat penampilan saya yang kontras dengannya [hanya pakai polo shirt, celana jeans dan ransel]. “Anak saya yang di SMA Negeri unggulan, kepingin nantinya sekolah ke Luar Negeri... Kalau bapak, anaknya sekolah di SMA mana?”

Saya pun dengan santainya menjawab apa adanya, “Anak saya masih SMP koq bu... tapi di luar negeri...” [kejadian ini memang waktu anak saya masih di SMP]. Jawaban saya sebenarnya belum selesai, tapi ibu tsb. memotong jawaban saya [mungkin penasaran], “Wuah hebat ya anaknya... masih SMP sudah berani sekolah di luar negeri. Ngomong-ngomong di sekolahin di mana pak luar negerinya? Lha terus ini mau ndaftarin adiknya ya...?”. Waduh. Ibu ini bener-bener sok tahu dan tipe yang kalau sudah ngomong nggak bisa distop, maunya dia sendiri yang didengerin. Terpaksa saya potong juga omongannya, “Anu bu...maksud saya di luar negeri itu... nggak di SMP Negeri, tapi di SMP Swasta.” Mendengar penjelasan saya, si ibu tsb. langsung melengos dan nggak mau ngajak ngomong lagi. Dalam hati saya pun tertawa sendiri, emang gue pikirin.

Itulah kekayaan bahasa Indonesia. Kata yang sama ‘luar negeri’ ternyata beda maknanya. Aneh kan? Banyak lagi kata-kata di dalam bahasa Indonesia yang bisa berbeda maknanya tergantung pada situasi, kondisi, ataupun konteksnya. ‘Gak percaya. Ada lagi contoh. Seorang cewek yang dirayu habis-habisan sama pacarnya, sambil tersipu dan tersenyum malu cuman bisa ngomong, “Dasar rayuan gombal...”. Buat si cewek kata ‘gombal’ bermakna ‘terlalu berlebihan’ atau bahasa anak Jakarta sekarang ‘lebay’ banget. Padahal dalam benak saya yang namanya ‘gombal’ itu kan lap kain yang sudah dekil sekaligus bau. Hehehe...

Kata ‘gelar’, juga bisa beda maknanya tergantung dari pemanfaatannya dalam sebuah kalimat. Kalau dikaitkan dengan pencapaian di dunia pendidikan, kata ‘gelar’ menjadi sangat penting maknanya. Begitu banyak orang yang sekolah hingga tingkat S1 ataupun S2, karena memang ingin mengejar gelar setinggi mungkin agar nantinya dapat bermanfaat untuk memperbaiki posisi maupun karirnya di dunia kerja, sehingga dengan gelarnya yang seabrek bisa jadi jaminan hidup mulia. Berbeda dengan kata ‘gelar’ bila dikaitkan dengan penjual gudeg lesehan di emperan Malioboro-Yogya yang bermakna erat dengan lembaran tikar yang bakal digela sebagai tempat lesehan para konsumennya.

Yang unik adalah kata ‘bohong’. Bisa diartikan sebaliknya tergantung dari konteks pemakaian kata ‘bohong’ tsb. ‘Bohong’ kan artinya mengatakan sesuatu itu ‘ada’, padahal sebenarnya ‘tidak ada’ dasar realitasnya atau kenyataannya. Misal, bilang punya pacar, padahal kenyataannya tidak punya. Cerita kalau dirampok padahal tidak ada kejadiannya. Dsb. Nah, uniknya kata ‘bohong’ juga bisa digunakan untuk mengatakan sesuatu itu ‘tidak ada’, padahal realitas atau kenyataannya ‘ada’. Misal, ketika temennya minta ditraktir makan siang bilangnya ‘tidak ada’ uang, padahal sebenarnya ‘ada’ sejumlah uang di dompetnya. Jadi tambah bingung kan. Tapi begitulah faktanya.

Ada juga kata yang ditambah di depan atau belakangnya dengan kata lain jadi berubah maknanya. Mantan presiden Gus Dur pernah saat menjadi tamu di reality show ‘Kick Andy’ ditanya tentang siapakah polisi di Indonesia yang jujur. Presiden Gus Dur pun menjawab bahwa hanya ada 3 polisi yang jujur, pak Hugeng [jendral, mantan Kapolri], ‘patung polisi’, dan ‘polisi tidur’. Terlepas dari ketidak setujuan saya pada humor Gus Dur tsb. karena belum tentu kebenarannya, arti kata polisi memang menjadi berubah maknanya. Khususnya pada kata ‘polisi tidur’ yang digunakan untuk merujuk pada ‘gundukan’ di jalanan yang berfungsi sebagai penghalang agar pengguna jalan memperlambat laju kendaraannya. Terus terang , sampai sekarang saya masih kagum dengan pencetus kata ini, cerdas banget. Kenapa ya... nggak dibilang ‘kuburan masal’ aja, biar yang mau lewat secara psikologis merasa takut dan langsung memperlambat kendaraannya. Lho kok saya jadinya mau ikutan ngatur bahasa Indonesia?

Lanjut lagi, ada juga kata yang sering bertukar arti, tergantung dari cara pandang si pemakai kata tsb. Kata ‘jauh’ misalnya, buat teman saya yang sering bolak-balik Jakarta-Surabaya dengan pesawat terbang bilang, “Surabaya sih deket... sejam juga nyampe”. Kata ‘jauh’ berubah makna menjadi ‘dekat’, meskipun buat saya tetap saja jauh karena berjarak ratusan km. Lain ceritanya kalau yang bilang ‘jauh’ adalah tukang parkir liar yang selalu ada di pinggir jalan, “Terus... terus... maju lagi... jauh... jauh...”, mobil kita sudah mau nyenggol mobil yang parkir di depan kita dan jaraknya tinggal sekitar 15 cm dibilangnya masih ‘jauh’. Nah, dalam cara pandang tukang parkir tsb. jarak yang ‘dekat’ sekitar 15 cm dimaknai ‘jauh’. Bertukar arti kan, ‘jauh’ jadi ‘dekat’, yang ‘dekat’ jadi ‘jauh’!

Kalau kita mau telusuri lebih jauh masih banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia yang sama ‘kata’nya namun berbeda ‘makna’nya. Silakan dilanjutkan pencariannya... hehehe...

Monday, June 6, 2011

Sukses, ‘jadi orang’, banyak uang...




Gara-gara jejaring sosial macam facebook dan twitter, yang ternyata mampu menyambungkan kembali tali silaturahim antar kawan lama, akhir-akhir ini banyak banget kegiatan ‘reunian’ yang mesti kita hadiri. Konsep ketemuannya sih oke banget, tapi rasanya kok ada juga beberapa teman yang menggunakannya untuk ajang ‘pamer kesuksesan’. Nah biasanya, berdasarkan pengalaman, kalau yang kebetulan yang ikutan ngumpul ‘merasa kurang sukses’, pada ketemuan berikutnya bisa dipastikan nggak bisa hadir drngan berbagai alasan.

Begitulah, pada salah satu ‘reunian’ ada teman saya Dody yang tiba-tiba nyeletuk,
“ Wuah sekarang si Indra sudah ‘jadi orang’ ya... sudah sukses... sudah kaya...”.
Dan akhirnya, pembicaraan memang jadi berbelok ke arah pencapaian sukses dari teman-teman yang lain. Yang begini ini yang kurang menarik dalam acara reunian. Bukannya ngomongin cerita yang dulu-dulu dan yang lucu-lucu biar kita semua bisa bernostalgia, eh kok malah jadi ngomongin harta kekayaan, punya ini, punya itu, dsb. Kalau kekayaan tsb. diperoleh dengan ‘berniaga’, punya bisnis atau usaha yang syariah, pastinya saya salut 1000%. Tapi kalau yang ngomongin kekayaan tsb. adalah mereka yang berkiprah sebagai pejabat pemerintah, maaf saja... temans, saya langsung kepingin muntah. Topik pembicaraan yang seperti inilah yang biasanya bikin saya males untuk ikutan nimbrung.

Padahal, konsep ‘jadi orang’ jaman para orang tua dulu tuh mengacu ke suatu pencapaian hidup yang mengandung makna sangat dalam, nggak hanya sekadar terjebak ke pencapaian kekayaan tertentu. Atau dengan kata lain, istilah ‘jadi orang’ atau ‘sukses’ itu tidak identik dengan ‘jadi orang kaya’. Misal, menjadi seorang staff pengajar di perguruan tinggi atau guru di sebuah SMA, dengan gaya hidup yang sederhana, pun boleh dibilang juga ‘jadi orang’ atau ‘sukses’.

Menurut aku, seseorang bisa dikatakan ‘sukses’ bila dalam hidupnya ia berusaha dan berjuang hingga akhirnya mampu meraih prestasi tertentu yang membanggakan. Dan mampu memanfaatkan semua kapasitas yang ada dalam dirinya untuk kebaikan orang lain dan masyarakat, tidak hanya sekadar untuk kepentingan diri pribadinya saja. Tingkat kepribadiannya berkembang menjadi lebih berkarakter dan lebih matang dalam menghadapi segala permasalahan di dalam kehidupannya.

Ironisnya, jaman sekarang ini, banyak orang beranggapan kalau ‘jadi orang’ atau ‘sukses’ itu identik dengan ‘jadi orang kaya’. Padahal betapa banyak saat ini, ‘orang jadi kaya’ yang hartanya diperoleh dengan cara yang tidak benar [alias korupsi], tidak melalui proses kerja keras dan berjuang di ‘jalan yang benar’. Mereka yang berada dalam kelompok ini biasanya memang memperoleh kekayaannya dengan cara gampang, sehingga tidak melalui proses berdialog dengan hati nuraninya. Juga tidak pernah ada proses pematangan di dalam kepribadiannya, baik melalui perenungan maupun kontemplasi pemikiran. Yang ada dalam pikirannya hanyalah spirit ‘jalan pintas’ dan keinginan untuk mendapatkan segalanya dengan instan, termasuk menghalalkan segala cara dan bahkan seringkali ada pihak lain yang dirugikan. Lha terus apakah yang seperti ini masih bisa dibilang ‘jadi orang’ atau ‘meraih sukses’???

Fenomena saat ini, memang begitu banyak orang yang tergila-gila pada uang. Mereka yang wara-wiri dengan mobil keren, memakai pakaian ‘branded’, hobi shopping ke luar negeri, pada kenyataannya memang diperlakukan dengan lebih terhormat dibanding dengan mereka yang tampil sederhana dan ‘biasa-biasa’ saja. Barangkali inilah yang membuat definisi tentang ‘jadi orang’ atau pun ‘sukses’ bergeser artinya. Saat ini, sukses = banyak uang. Konyolnya, semakin banyak uangnya semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhinya. Bahkan seringkali kita mendengar keluhan teman dan kolega kita bahwa mereka selalu merasa kekurangan uang terus, kebutuhan yang harus dipenuhi koq selalu nggak ada habisnya. Nah lho... jadi terjebak dan diperbudak oleh uang kan?

Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia hidup itu memang tidak bisa lepas dari uang. Semua orang butuh uang untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Semua orang memang kepingin punya rasa aman dengan punya tabungan, punya rumah, punya kendaraan yang mampu mendukung transportasinya, kepingin meningkatkan kualitas hidupnya, dsb. Tapi alangkah baiknya bila kita tidak terjebak ke arah semangat untuk ‘mendewakan uang’ alias uang menjadi prioritas utama dengan menisbikan begitu saja apa sejatinya makna hidup kita. Bahkan banyak yang melupakan bahwa sebenarnya untuk apa sih tujuan hidup kita ini? Apakah kebahagiaan hidup itu hanya bisa diraih dengan cara kita memiliki banyak uang?

Semoga sharing kali ini dapat menjadi bahan renungan... yang tentunya dengan harapan dapat memperkaya kualitas hidup kita semua.