Sudah menjadi ritual tahunan, setiap Lebaran saya selalu pulang ke Blitar. Meskipun kedua mertua saya telah tiada [3 tahun lalu], saya dan keluarga [khususnya anak-anak] selalu kangen dengan Blitar. Suasana kotanya yang tenang & damai, makanannya dan juga keramahannya selalu membuat kami selalu kembali.
Seperti biasa, bila ada mobil yang diparkir di halaman rumah mertua, pasti mbah Surip [penjual es lilin keliling] berteriak menjajakan dagangannya dari balik pintu pagar. Anak-anak yang biasanya antusias jajan nampak ogah-ogahan karena berpuasa. Akhirnya, saya beli semua es yang ada, lalu simpan di freezer, toh bisa dinikmati rame-rame setelah buka puasa nanti.
Begitu melihat mbah Surip, istriku langsung mengajaknya untuk memainkan Gender [salah satu instrument gamelan Jawa] sambil mendendangkan tembang Jawa. Istriku pegang Bonang, dan kakaknya memainkan Gendang [oh ya, di rumah mertua masih ada 2 set gamelan komplit yang terawat baik]. Mulailah terdengar alunan gamelan, suasana pendopo belakang rumah menjadi terasa betul-betul di Jawa. Saya & anak-anak hanya bisa menonton sambil menikmatinya.
Usai dengan konser gamelan Jawa, giliran saya yang ngobrol dengan mbah Surip, yang kini nampak tua, keriput, hitam, namun di wajahnya masih memancarkan semangatnya. Dalam hati saya membayangkan, 10 tahun saya kenal mbah Surip kok tetap begini-begini aja. Pasti ada yang salah nich, pikir saya. Saya pun kepingin sharing sedikit [teach] dengannya, bagaimana supaya hidupnya ada effort untuk bisa lebih maju dan nggak perlu berkeliling jalan kaki menjajakan es lilinnya. Harusnya lebih dari 10 tahun menekuni usaha ini, mbah Surip sudah memiliki pabrik es yang besar [ini kalau kita baca kisah para pengusaha sukses, rata-rata lewat 10 tahun sudah jadi konglomerat]. Atau bandingkan dengan temen-temen komunitas TDA, banyak yang baru usaha 2 tahun sudah beromset milyaran. Begitulah arah topik pembicaraan saya.
Dengan penuh keyakinan mbah Surip pun mulai menyampaikan pandangan hidupnya yang penuh dengan filsafat Jawa. Hidup itu harus dijalani bagaikan air yang mengalir dan kita harus nrimo ing pandum [menerima rejeki yang sudah dibagi oleh Allah]. Yang penting kita bisa menikmati hasilnya. Kalau orang nggak mensyukuri dan merasa nggak cukup dengan rejeki yang telah diperolehnya, selamanya akan merasa kekurangan terus. Akhirnya, akan menjadi serakah. Yang namanya kebahagiaan dan kekayaan itu kan adanya dalam pikiran kita. Mbah Surip sangat-sangat merasa bahagia dengan pencapaian hidupnya selama ini. Karena kebahagiaan dalam persepsinya adalah bila bisa menikmati & bersyukur dengan rejaki yang telah diterimanya dari Allah. Toh yang namanya harta dunia kan nggak bakalan dibawa ke liang kubur, tapi amalah & ibadah kita lah yang akan diperhitungkan. Di sisi lain, kalau kita ngoyo untuk mengejar dan menimbun kekayaan, justru akan diperbudak oleh kekayaan tsb. Karena berapapun yang diperoleh pasti selalu merasa masih belum cukup. [kalau direnungkan lebih dalam apa yang dikuliahkan ke saya ada benarnya ya…].
Mbah Surip pun ganti bertanya, apakah saat ini saya merasa sudah cukup dengan yang saya peroleh? [Rumah, mobil, usaha, tabungan, dsb.] Saya pun menjawab bahwa memang masih ada yang harus saya perjuangkan. Jadi saya masih akan berusaha untuk lebih kaya lagi. Saya kan kepingin bisa naik haji, membantu orang lain, membuka lapangan kerja, menyiapkan dana untuk kelanjutan studi anak saya, di hari tua masih punya uang sendiri, dsb.
Mbah Surip pun memotong lagi. Apakah dengan kekayaan yang ada saat ini nggak bisa berangkat haji? Apakah nggak bisa menolong orang? Apakah nggak bisa nyekolahin anak? Itu artinya, sampeyan sudah mulai diperbudak dengan kekayaan yang sampeyan penginin. [wuah sekali lagi, bener juga ya…]. Kalau saya mas, karena rejeki yang saya terima memang nggak bisa buat berangkat haji, berarti Gusti Allah kan memang nggak mengijinkan saya untuk berangkat haji. Yang penting saya tetap bersyukur mas. Sambil ia berpamitan pulang.
Tercenung saya dibuatnya, niat saya sharing & sedikit mengajar [teach] justru malah diajar [saya jadi belajar, learn] tentang pandangan hidup apa adanya dari orang Jawa kebanyakan, khususnya dari ‘seorang penjual es kawakan’. Weleh-weleh terus gimana nich? Bertolak belakang banget sama pandangan hidup kita semua saat ini yang belajar ilmu dari para pakar modern. Malamnya saya pun sempat merenungkan semua obrolan dengan mbah Surip siang tadi. Untuk sementara [karena dialektika belajar akan terus berlanjut] saya kepinginnya bagaimana bisa manjadi manusia yang “memberi, memberi, dan memberi tapi tidak pernah kehabisan” daripada harus “mencari, mencari, mencari tapi tidak pernah merasa cukup”. Semoga. Amin.
No comments:
Post a Comment