Tuesday, June 7, 2011

Awas! Sama katanya bisa beda maknanya...




Ngomongin iklan tawaran sekolah ke luar negeri yang pernah marak di koran nasional, saya pernah punya pengalaman yang lucu tentang ini. Waktu itu, sebenarnya hanya iseng saja kepingin tahu, apa dan bagaimananya tawaran iklan tsb. Mulailah saya cari informasi via telpon, dan akhirnya diundang ke pertemuan dengan para orang tua lainnya yang juga kepingin tahu program yang ditawarkan.

Saya bukannya mau menceritakan paparan program dari penyelenggara jasa yang mengurusi sekolah ke luar negeri tsb. tapi lebih ke betapa antusiasnya para orang tua yang datang. Seorang ibu yang duduk di sebelah saya dengan dandanan bak hendak ke pesta lengkap dengan semua perhiasannya tiba-tiba menyapa dengan nada sedikit merendahkan karena melihat penampilan saya yang kontras dengannya [hanya pakai polo shirt, celana jeans dan ransel]. “Anak saya yang di SMA Negeri unggulan, kepingin nantinya sekolah ke Luar Negeri... Kalau bapak, anaknya sekolah di SMA mana?”

Saya pun dengan santainya menjawab apa adanya, “Anak saya masih SMP koq bu... tapi di luar negeri...” [kejadian ini memang waktu anak saya masih di SMP]. Jawaban saya sebenarnya belum selesai, tapi ibu tsb. memotong jawaban saya [mungkin penasaran], “Wuah hebat ya anaknya... masih SMP sudah berani sekolah di luar negeri. Ngomong-ngomong di sekolahin di mana pak luar negerinya? Lha terus ini mau ndaftarin adiknya ya...?”. Waduh. Ibu ini bener-bener sok tahu dan tipe yang kalau sudah ngomong nggak bisa distop, maunya dia sendiri yang didengerin. Terpaksa saya potong juga omongannya, “Anu bu...maksud saya di luar negeri itu... nggak di SMP Negeri, tapi di SMP Swasta.” Mendengar penjelasan saya, si ibu tsb. langsung melengos dan nggak mau ngajak ngomong lagi. Dalam hati saya pun tertawa sendiri, emang gue pikirin.

Itulah kekayaan bahasa Indonesia. Kata yang sama ‘luar negeri’ ternyata beda maknanya. Aneh kan? Banyak lagi kata-kata di dalam bahasa Indonesia yang bisa berbeda maknanya tergantung pada situasi, kondisi, ataupun konteksnya. ‘Gak percaya. Ada lagi contoh. Seorang cewek yang dirayu habis-habisan sama pacarnya, sambil tersipu dan tersenyum malu cuman bisa ngomong, “Dasar rayuan gombal...”. Buat si cewek kata ‘gombal’ bermakna ‘terlalu berlebihan’ atau bahasa anak Jakarta sekarang ‘lebay’ banget. Padahal dalam benak saya yang namanya ‘gombal’ itu kan lap kain yang sudah dekil sekaligus bau. Hehehe...

Kata ‘gelar’, juga bisa beda maknanya tergantung dari pemanfaatannya dalam sebuah kalimat. Kalau dikaitkan dengan pencapaian di dunia pendidikan, kata ‘gelar’ menjadi sangat penting maknanya. Begitu banyak orang yang sekolah hingga tingkat S1 ataupun S2, karena memang ingin mengejar gelar setinggi mungkin agar nantinya dapat bermanfaat untuk memperbaiki posisi maupun karirnya di dunia kerja, sehingga dengan gelarnya yang seabrek bisa jadi jaminan hidup mulia. Berbeda dengan kata ‘gelar’ bila dikaitkan dengan penjual gudeg lesehan di emperan Malioboro-Yogya yang bermakna erat dengan lembaran tikar yang bakal digela sebagai tempat lesehan para konsumennya.

Yang unik adalah kata ‘bohong’. Bisa diartikan sebaliknya tergantung dari konteks pemakaian kata ‘bohong’ tsb. ‘Bohong’ kan artinya mengatakan sesuatu itu ‘ada’, padahal sebenarnya ‘tidak ada’ dasar realitasnya atau kenyataannya. Misal, bilang punya pacar, padahal kenyataannya tidak punya. Cerita kalau dirampok padahal tidak ada kejadiannya. Dsb. Nah, uniknya kata ‘bohong’ juga bisa digunakan untuk mengatakan sesuatu itu ‘tidak ada’, padahal realitas atau kenyataannya ‘ada’. Misal, ketika temennya minta ditraktir makan siang bilangnya ‘tidak ada’ uang, padahal sebenarnya ‘ada’ sejumlah uang di dompetnya. Jadi tambah bingung kan. Tapi begitulah faktanya.

Ada juga kata yang ditambah di depan atau belakangnya dengan kata lain jadi berubah maknanya. Mantan presiden Gus Dur pernah saat menjadi tamu di reality show ‘Kick Andy’ ditanya tentang siapakah polisi di Indonesia yang jujur. Presiden Gus Dur pun menjawab bahwa hanya ada 3 polisi yang jujur, pak Hugeng [jendral, mantan Kapolri], ‘patung polisi’, dan ‘polisi tidur’. Terlepas dari ketidak setujuan saya pada humor Gus Dur tsb. karena belum tentu kebenarannya, arti kata polisi memang menjadi berubah maknanya. Khususnya pada kata ‘polisi tidur’ yang digunakan untuk merujuk pada ‘gundukan’ di jalanan yang berfungsi sebagai penghalang agar pengguna jalan memperlambat laju kendaraannya. Terus terang , sampai sekarang saya masih kagum dengan pencetus kata ini, cerdas banget. Kenapa ya... nggak dibilang ‘kuburan masal’ aja, biar yang mau lewat secara psikologis merasa takut dan langsung memperlambat kendaraannya. Lho kok saya jadinya mau ikutan ngatur bahasa Indonesia?

Lanjut lagi, ada juga kata yang sering bertukar arti, tergantung dari cara pandang si pemakai kata tsb. Kata ‘jauh’ misalnya, buat teman saya yang sering bolak-balik Jakarta-Surabaya dengan pesawat terbang bilang, “Surabaya sih deket... sejam juga nyampe”. Kata ‘jauh’ berubah makna menjadi ‘dekat’, meskipun buat saya tetap saja jauh karena berjarak ratusan km. Lain ceritanya kalau yang bilang ‘jauh’ adalah tukang parkir liar yang selalu ada di pinggir jalan, “Terus... terus... maju lagi... jauh... jauh...”, mobil kita sudah mau nyenggol mobil yang parkir di depan kita dan jaraknya tinggal sekitar 15 cm dibilangnya masih ‘jauh’. Nah, dalam cara pandang tukang parkir tsb. jarak yang ‘dekat’ sekitar 15 cm dimaknai ‘jauh’. Bertukar arti kan, ‘jauh’ jadi ‘dekat’, yang ‘dekat’ jadi ‘jauh’!

Kalau kita mau telusuri lebih jauh masih banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia yang sama ‘kata’nya namun berbeda ‘makna’nya. Silakan dilanjutkan pencariannya... hehehe...

No comments: