Marilah sejenak kita lupakan segala macam teori yang ‘njelimet’ tentang kewirausahaan [bagaimana cari peluang, bagaimana cari modal usaha, bagaimana berani take action, dsb.]. Saatnya belajar dari siapa saja yang ada di sekitar kita, termasuk ‘wong cilik’. Karena ternyata, saat saya ketemu dengan seorang tukang ojek yang nampaknya ‘biasa-biasa’ saja, kalau diamati, diam-diam di asedang berproses menuju ke arah kebebasan financial seperti yang menjadi cita-cita kita semua.
Sapari, yang istrinya dulu [7 tahun lalu] bekerja di rumah saya, adalah seorang tukang ojek di daerah tempat tinggal saya. Benar-benar ia mampu membuat saya ‘angkat topi’ padanya.
Ceritanya, 2 minggu yang lalu, saat suatu sore saya tidak bisa menjemput anak saya sepulang les private drum di Purwa-Caraka Jatiwaringin, melalui telepon saya minta tolong istri untuk mencari tukang ojek yang bisa ‘dipercaya’ [bawa motornya nggak sembarangan]. Akhirnya, terpikirlah oleh istri saya nama si mas Sapari ini, melalui istrinya dapatlah nomer HP-nya. Jadilah anak saya dijemputnya. Usai menjemput, mas Sapari nggak langsung pulang, tapi ngobrol di rumah sampai saya datang. Lantas lanjut ‘ngobrol’ lagi sama saya.
Lama nggak ketemu, rupanya mas Sapari ini telah membuat loncatan besar dalam hidupnya. Saat ini, katanya, ngojek itu cuma kerjaan iseng saja. Lho, kok? Benar. Sementara banyak orang sedang bergelut mencari berbagai peluang usaha, saat ini dia telah memiliki 2 motor yang disewakan sebagai ojek. Hebat ya! Setiap hari dari hasil menyewakan ojeknya ia berpenghasilan bersih Rp. 80,000, sedangkan hasil dia sendiri ‘ngojek’ Rp 75,000. Total penghasilan bersih per hari kurang lebih Rp 155,000. Katakanlah sebulan 25 hari kerja, berarti penghasilannya rata-rata per bulan sekitar Rp 3,875,000.
Sukses mas Sapari ini, ternyata tak lepas dari kejeliannya melihat peluang. Dan juga kemampuannya ‘bekerja bukan cuma untuk mencari uang’, tetapi lebih dari itu, ia mampu ‘memaksa uangnya untuk bekerja menghasilkan uang lagi’ [padahal nggak pernah baca buku Rich Dad Poor Dad nya Robert T. Kiyosaki].
Begitulah, tatkala ada temennya yang mencari ojek untuk disewa, dia pun menawarkan sepeda motornya. Mundurkah ia dari blantika ‘perojekan’? Tidak. Diam-diam ia beli sepeda motor lagi dengan cara kredit [dibiayai dari hasil sepeda motor yang disewakan]. Asset tersebut digunakannya untuk ‘ngojek’ juga. Hasil ngojeknya yang Rp 75,000 sehari, diusahakan selalu untuk ditabung. Tentunya, setelah dikurangi biaya hidup. Nah, saat ada temen lainnya yang ingin menyewa sepeda motor untuk ‘ngojek’, lagi-lagi sepeda motornya yang diberikan. Dan seperti sebelumnya, ia membeli sepeda motor lagi untuk dirinya sendiri. Begitu seterusnya. Katanya ke-tiga motornya tsb., saat ini sudah lunas kreditnya.
Memang kalau dipelajari perjalanan bisnis mas Sapari ini juga tidak lepas dari kemampuannya untuk berpikir keluar dari pakem yang ada di ‘dunia para tukang ojek’, di mana ia setiap hari terlibat di dalamnya. Kalau tukang ojek ‘kebanyakan’ berpikir sesuai pakem, “kalau motornya disewa orang, lha terus saya gimana dong nyari makannya?”. Mas Sapari justru melihat ini sebagai peluang dan tantangan, sehingga akhirnya berhasil memiliki rental sepeda motor.
Moral ceritanya, yang namanya peluang maupun rejeki itu ternyata memang ada di mana-mana, dan banyak tersebar di sekitar kita. Datangnya juga bisa dari arah mana saja, dari depan, dari samping, dan juga bisa dari belakang. Tapi semuanya berpulang kepada diri kita masing-masing, sejauh mana ‘kreativitas’ kita untuk mampu ‘menemukannya’. Jadi seperti yang pernah diposting oleh pak Roni Yuzirman di milis TDA, bahwa kita jangan pernah meremehkan ‘bisnis yang recehan’, terbukti benar adanya. Meskipun nampaknya recehan, yang penting adalah duplikasinya atau faktor kalinya. Bayangkan kalau nantinya si mas Sapari ini bisa menyewakan 10 sepeda motor [sebagai faktor kali] apa nggak kalah tuh gaji seorang manajer. Hahaha… Jadi ‘panas-dingin’ juga!