Sunday, December 30, 2007
[Resolusi???] Kilas Balik Action Plan 2007 & Action Plan 2008
Saya lebih senang menggunakan istilah Action Plan daripada Resolution. Kenapa? Karena dengan kata Action Plan yang berarti rencana untuk Action atau bertindak, feel-nya terasa banget bahwa susunan rencana yang ada untuk segera & harus dilaksanakan [kata ini kan TDA banget] . Sementara itu kata Resolusi [dalam kamus bahasa Indonesia] dimaksudkan untuk merujuk pada pernyataan tertulis yang biasanya berisi tuntutan tentang suatu hal. Dalam bahasa Inggris, resolution yang berkaitan dengan tahun baru memiliki arti ‘ketetapan hati’. Feel dari kata resolusi kok hanya sekedar susunan pernyataan atau daftar keinginan saja [ketetapan hati]. Action atau tindakannya kurang ya… [ini murni pendapat saya lho].
Belajar dari pengalaman Action Plan 2007 yang kurang lebih hanya terlaksana 40% saja, saya mencoba mengevaluasi kembali apa saja penyebab tidak terlaksannya Action Plan tsb. Kemudian menarik hikmahnya agar pada Action Plan 2008 nanti tingkat keberhasilannya bisa mencapai sekitar 100% atau setidaknya di atas 80% lah.
Kalau dibilang Action Plan 2007 tsb. tidak mengikuti kaidah yang ada, nggak juga sich. Karena waktu bikinnya kan sudah SMART [Specific maksudnya jelas apa yang diinginkan, Measurable atau terukur dan mungkin untuk dicapai, Antusias atau selalu semangat untuk mencapainya, Result-Oriented atau focus pada hasil yang akan dicapai, Time-framed atau jangka waktu kapan kita hendak mencapainya].
Setelah melalui refleksi, introspeksi, pengkajian yang mendalam dan melewati beberapa kali perenungan, ternyata ‘ketahuan’ penyebab beberapa Action Plan 2007 yang tidak terlaksana tsb.
Pertama, Action Plan 2007 tsb. yang seharusnya sering dievaluasi [sebulan sekali lah], ternyata pernah terselip entah kemana jadi hanya yang diingat saja yang dilaksanakan.
Kedua, ada beberapa Action Plan tsb. yang ternyata bertentangan dengan mindset saya akhir-akhir ini yang sudah banyak berubah. Dulu kan waktu bikin Action Plan yang penting tulis dulu semua ‘dream’ kita, urusan pelaksanaannya atau action-nya, gimana nantinya aja. Berikut coba saya sharing :
1. Di awal 2007 untuk urusan KESEHATAN, saya kepingin ikutan club fitness, tujuannya agar dipaksa disiplin berolahraga. Eh, pas tahu nilai rupiahnya yang lumayan mahal [mendingan dipakai nambahin modal usaha], kok akhirnya memilih untuk olah raga sendiri di rumah. Ternyata, olah raga sendiri, karena kurang disiplin, lebih banyak nggak terlaksananya.
2.Urusan KARIER di pekerjaan TDB, saya kepingin banget ada peningkatan yang signifikan. Yang ini kan jelas banget bertentangan dengan mindset yang selama ini saya bangun [untuk sesegera mungkin mengundurkan diri dan full TDA]. Hasilnya, ya nggak ada peningkatan apapun.
3. Dalam hal MATERI, saya kepingin ganti mobil Nissan X-Trail [gara-gara panas melihat kakak saya membelinya], ganti sepeda motor Suzuki Satria FU 150, dan kepingin punya villa di daerah Sukabumi [adik ipar punya di daerah itu]. Ketiga dream ini akhirnya juga tidak terlaksana. Karena setelah dipikirin kok konsumtif amat ya? Kenyataannya, mobil & sepeda motor yang saya pakai saat ini nggak ada masalah koq… Tentang villa, kalau hanya dikunjungi sebulan sekali atau kalau pas liburan anak sekolah saja kok juga mubazir ya?
4. Urusan KEIMANAN/IBADAH, saya berencana untuk membuka tabungan haji juga tidak terlaksana. Yang ini lebih disebabkan perasaan batin saya yang selalu merasa ‘belum siap’ untuk menunaikan ibadah haji [saya merasa belum menjadi muslim yang baik, sholat aja masih bolong-bolong].
Begitulah beberapa Action Plan 2007 tsb. yang pada akhirnya saya negasi [tolak] sendiri. Lalu apakah Action Plan nggak diperlukan? Saya pribadi tetap memerlukannya dan membuat Action Plan 2008. Kesimpulan sementara, untuk menyusun Action Plan 2008, saya harus lebih berhati-hati, agar lebih masuk akal dalam usaha mewujudkannya. Memang ada beberapa yang bertolak dari ‘dream’ [kalau nggak ada dream kan nggak ada usaha untuk mewujudkannya] tapi lebih ke hal-hal yang berkaitan dengan bisnis. Setidaknya, Action Plan tsb. nantinya kan bisa menjadi guidance bagi kehidupan saya pribadi. Juga agar saya tahu seberapa berhasilkah nanti pencapaiannya di tahun akhir 2008 nanti.
Berikut ini Action Plan saya untuk tahun 2008
1. Untuk KESEHATAN, mulai Januari 2008 saya akan berusaha berolah raga rutin seminggu 2 x [ikutan klub fitness di kantor], dan Sabtu atau Minggu berolah raga sendiri di rumah. Juga selalu menjaga kondisi, istirahat cukup, mengurangi makanan berkolesterol tinggi, general check up di bulan Juni.
2. Dalam hal KEIMANAN/IBADAH, saya & keluarga akan berusaha untuk sholat lebih baik lagi [khusyu’ & berkualitas], meningkatkan ketaqwaan beragama, memperdalam wawasan, beramal/berinfaq/bersodaqoh/berzakat lebih baik lagi dari tahun sebelumnya, dan plan untuk menjalankan ibadah HAJI.
3.Untuk KELUARGA, berusaha menyediakan banyak waktu untuk keluarga, lebih focus ke pendidikan anak-anak yang mulai beranjak ABG [baik pelajaran sekolah maupun akhlak], liburan bersama 2 x setahun [Lebaran & liburan Sekolah Juli or Desember].
4. Bidang USAHA, kepinginnya bisa lebih fokus memajukan usaha yang telah ada [kontrakan, rental mobil, rental excavator], dan ‘dreaming’ untuk memiliki usaha baru [apa saja].
5. Untuk PEMBELAJARAN, saya akan berusaha untuk belajar lebih baik lagi dalam hal kewirausahaan, motivasi diri, menghilangkan mental block yang ada, nge-blog & sharing pengetahuan, banyak baca buku.
6. KEHIDUPAN SOSIAL, kepinginnya dengan sisa hidup yang ada ini, hidup saya bisa lebih bermanfaat bagi orang lain, terutama di masyarakat sekitar tempat saya tinggal.
7. FINANCIAL, Januari 2008 tetap invest di reksadana dan membuka tabungan haji [dari hasil usaha].
8. Dalam hal MATERI, tetap kepingin ganti sepeda motor [Juli 2008].
Demikian gambaran Action Plan 2008 milik saya pribadi. Khusus tentang KEHIDUPAN SOSIAL, memang kalau dipikir-pikir, rasanya kok sayang ya kalau dalam menapaki kehidupan ini, segalanya kita biarkan berlalu dan mengalir begitu saja tanpa makna. Kan mumpung kita masih diberi waktu, alangkah baiknya bila dimanfaatkan dengan Action Plan yang bermanfaat bagi diri pribadi dengan membangun kehidupan yang lebih berkualitas, dan juga yang berguna bagi kehidupan banyak orang.
Lebih dari itu, pada hakekatnya, hidup kita ini kan akumulasi dari perubahan. Sementara yang namanya perubahan itu kan akhir-akhir ini dirasakan berlangsung sedemikian cepatnya. Seringkali, mereka yang tidak mau berubah biasanya akan dilibas oleh perubahan itu sendiri.
Bagaimana dengan teman-teman semua? Sudahkan membuat resolusi, action plan, impian atau perencanaan lainnya? Apapun istilahnya, kalau ada rencana, keinginan, impian, cita-cita, dsb. Akan banyak memberi manfaat berupa motivasi, semangat, energy positive atau keinginan kuat untuk bertindak mewujudkannya. Dalam menapaki kehidupan pun jadi ada guidance-nya. Namun yang paling penting adalah take action-nya atau tindakannya. Sebagus apapun resolusi, action plan, keinginan, cita-cita, impian yang ada kalau tidak ada action atau tindakan untuk mewujudkannya akan nothing happen adanya.
SELAMAT TAHUN BARU 2008, WUJUDKAN IMPIAN BARU & SUKSES SELALU
Catatan:
Tulisan ini juga untuk menjawab PR yang diberikan oleh Mr [millionaire] Adi Prajitno, sahabat di mastermind Jakarta Timur TNM-E20.
Thursday, December 27, 2007
Menyikapi kepribadian pengusaha
Akhir-akhir ini, setiap kali bertemu orang atau mengalami kejadian apapun di dalam kehidupan sehari-hari, saya selalu berusaha untuk belajar sesuatu atau mencoba mengamati untuk kemudian menganalisanya. Tentunya dengan harapan ada pelajaran berharga yang bisa dipetik.
Beruntunglah saya. Baru-baru ini, saya bisa belajar dari dua orang pengusaha yang di mata saya mereka memiliki the powerful personality [Istilah saya yang mengacu pada kepribadian yang penuh daya juang dan pantang menyerah], dan satu orang yang memiliki kepribadian sebaliknya, yaitu the powerless personality [kepribadian tanpa daya, pesimis dan gampang menyerah].
Yang pertama adalah Heri, salah seorang pengontrak ‘apartemen’ [baca: rumah kontrakan] saya. Di usianya yang masih muda [24 th] selepas SMA di Riau, ia merantau ke Jakarta dan bertekad untuk memiliki usaha sendiri. Setahun yang lalu, ia berani mengontrak kios di pasar Pondok Gede, dan membuka usaha sepuh emas untuk perhiasan. November 2007 lalu, tempat usahanya kena gusur, gara-gara pasar Pondok Gede diratakan dengan tanah untuk dibangun kembali. Meskipun usahanya saat ini terhenti, ia tetap tegar dan terus berusaha untuk mencari lokasi baru, karena di tempat penampungan ex pedagang pasar Pondok Gede dinilainya kurang strategis dan harus membayar sewa lagi. Heri sadar banget bahwa berlarut-larut dengan ‘musibah’ kena gusur & ‘ikutan protes’ bersama pedagang pasar lainnya yang hanya membuang waktu percuma. Lebih baik segera mencari jalan keluar yang terbaik untuk bangkit lagi & meneruskan usahanya, meskipun harus memulai dari nol lagi. Nggak perlu mencari kambing hitam dengan menyalahkan pemerintah, pembangunan & penggusurannya.
Yang kedua adalah pak Irun, pemilik toko kelontong yang terkomplit [udah kayak indomart lho] di pinggir komplek tempat tinggal saya. Saat gas di rumah habis, saya telpon tokonya, nggak lama kemudian langsung terdengar suara motor berhenti di depan pagar rumah. Eh ternyata, pak Irun sendiri yang mengantarkan tabung gas tsb. Salut saya. Tatkala saya tanya, “kok diantar sendiri emangnya ke mana anak buahnya?” Pak Irun pun dengan santainya menjawab, “anak buah pada pulang kampung semua! Jadi ya mesti nganter sendiri.” Padahal setahu saya [saya pernah ngobrol dengannya], pak Irun ini selain punya ‘mini market’ & wartel, juga punya warnet di depan kampus Guna Darma, Depok, yang per tahunnya memasukkan uang ke pundi-pundinya [bersih] sekitar Rp 80 jt-an. Kalau ditambah dengan hasil dari ‘mini market’ & wartelnya [bisa jadi lebih dari warnet-nya], berarti pak Irun ini kan sudah termasuk pengusaha yang sukses. Hebatnya, dia tetap mengutamakan ‘layanan prima’ untuk para pelanggannya. Tidak sedikitpun ia menyalahkan anak buahnya yang pulang, tapi lebih ke masalah tanggung jawab, bahwa berani jadi pengusaha ya harus siap menerima segala resikonya termasuk ‘bercapek-ria’ nganter gas ke pelanggannya.
Dari kedua pengusaha tsb. di atas, saya melihat bahwa sebagai pengusaha, kita harus memiliki the powerful personality. Atau kepribadian tahan banting, penuh semangat, selalu optimis, tak mudah menyerah, selalu positive thinking, dan tidak menyalahkan pihak lain untuk pembenaran dari kelemahan dirinya. Setiap keputusan yang diambilnya selalu penuh keyakinan & percaya diri. Juga sadar sepenuhnya bahwa untuk melaksanakan apa yang diperjuangkan pastinya tidak selalu melawati jalan yang mulus, tetapi selalu ada kerikil-kerikil tajam yang menjadi penghambat. Tinggal bagaimana cara menghadapinya. Kalau toh pernah mengalami kegagalan, tidak akan membuatnya patah semangat. Namun lebih dilihat sebagai proses pembelajaran. That’s all.
Sebaliknya, saya juga belajar tentang the powerless personality atau kepribadian pecundang [gampang menyerah, gampang mencari kambing hitam untuk menutupi ketidakberdayaanya, pesimis, negative thinking, dsb.] dari seorang yang bernama Ma’il, yang tinggalnya juga di pinggiran komplek saya. Yang satu ini, punya 2 anak yang masih sekolah, tetapi jobless. Kalau sedang ‘kepepet’ nggak ada uang, selalu datang ke rumah saya dan minta kerja apa saja. Biasanya, kalau pas begini, saya mintai tolong untuk nyuci mobil & sepeda motor [padahal saya kerjakan sendiri sambil olah raga pagi juga bisa]. Atau ganti lampu yang mati di ‘apartemen’ saya, benerin saluran air yang mampet, benerin genting bocor, dsb., kan nggak lucu kalau nggak bantuin apa-apa dikasih duit.
Suatu kali, dengan penuh keyakinan Ma’il menemui saya, lalu memaparkan rencananya untuk membuka bengkel las [ia punya pengalaman kerja & ‘sertifikat ngelas’], kebetulan dia dapat order-an bikin pagar dari komplek perumahan sebelah. Ia pun minta dimodali. Lalu saya putuskan untuk menolongnya tapi sebatas membeli alat las listrik, bor, gerinda & peralatan penting lainnya. Untuk sewa tempat, nanti dulu, saya kepingin melihat perkembangannya. Komitmennya, setiap kali dapat job ‘ngelas’, dia harus mencicil peralatan tsb. [Rp 25,000 per job]. Nantinya, kalau modal yang saya keluarkan telah kembali, peralatan tsb. menjadi miliknya.
Baru juga dapat order-an 3 kali [cicilan juga baru Rp 75,000], Ma’il sudah malas cari order. Tiap kali datang ke rumah selalu mengeluh bahwa ‘nyari’ order susah, dan kalah bersaing dengan bengkel las lainnya, ujung-ujungnya minta kerjaan lagi [dulu bilangnya mau rajin ‘habis-habisan’ nyari order-an]. Akhirnya sambil nunggu order dari luar, saya ‘ada-adain’ kerjaan ‘ngelas’ seperti : ganti teralis semua jendela rumah saya, bikin pagar teras, bikin menara untuk penampungan air, ganti tutup pompa air, bikin pagar mezzanine, dsb. Terakhir, November 2007 lalu, ia menyerah ‘kalah’, semua peralatan las dikembalikan ke saya. Nah, lho. Duit saya berhenti di peralatan las ini. Wuah payah banget, niat baik saya untuk membuatnya ‘mandiri’ untuk menjadi pengusaha gagal sudah. Saya hanya berpesan kepadanya,”kalau mental kamu masih seperti itu, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa merubah nasib jelek menjadi lebih baik. Dan ingat yang bisa merubah nasib kamu, adalah dirimu sendiri”.
Begitulah sharing saya tentang dua kepribadian yang bertolak belakang. Pelajaran buat saya pribadi, kalau kita tidak pernah berhasil merubah the powerless personality menjadi the powerful personality, maka tidak akan pernah menjadi pemenang [menang melawan ketidakmampuan kita] dan selamanya akan menjadi pecundang atau the looser. Semoga pengalaman saya ini bermanfaat bagi Anda semua.
Sunday, December 23, 2007
Waktu
Waktu pula yang menjadikan saya bertambah usia. Meski terasa dalam diri, kok kayaknya usia berapa saja rasanya sama [nggak ada perubahan gitu], seperti waktu masih muda ya? Padahal tak tahu kita berapa usia yang masih bersisa yang menjadi milik kita, karena waktu untuk kita adalah rahasia Allah semata. Lalu haruskah menyia-nyiakan sisa waktu yang ada. Logikanya, sudah seharusnya kita memanfaatkan waktu yang ada untuk segala aktivitas yang bermanfaat baik untuk diri kita dan juga orang lain [kemaslahalatan umat].
Waktulah yang mendadak membuat tercenung dan memaksaku merenung. Mengkilas balik, apa saja yang telah kuperbuat di waktu-waktu yang lalu. Terlintaslah semuanya di depan mata, segala aktivitas di tahun-tahun yang telah berlalu...?? Dan waktu tiba-tiba membuka mata bahwa begitu mudahnya saya menyia-nyiakan waktu yang ada. Terbukti dengan begitu banyak rencana [action plan] yang tak terlaksana. Lagi-lagi ada rasa sesal kenapa begitu sering menunda dan menunda. Yang tersisa, deretan pertanyaan untuk diri pribadi. Kenapa begitu sedikit rencana yang telah ditata dapat terlaksana? Apa saja ya rencana yang tertunda? Kenapa ditunda kalau itu sudah masuk di dalam rencana? Berarti waktu yang ada nggak mencukupi? Nggak punya waktu? [Orang bijak bilang, yang merasa nggak punya waktu, berarti termasuk golongan yang tidak dapat mengatur & memanfaatkan waktu].
Waktu yang dimiliki semua orang jumlahnya sama. 24 jam sehari. Tapi dalam hal memanfaatkan waktu, ternyata masing-masing dari kita bisa berbeda caranya. Sehingga berbeda pula hasilnya. Ada yang selama kurun waktu tahun 2007 ini berhasil mencapai goal-goal yang spektakuler dari target yang telah dicanangkan. Tapi banyak juga yang merasa seperti masih jalan di tempat, meskipun waktu telah berlalu begitu cepat. Dan begitu mudahnya waktu disalahkan sebagai kambing hitam, “waktunya cepet banget berlalu”, “aku nggak punya waktu”, “waktunya mepet sich”, “nggak ada waktu lagi…”, “coba kalau masih ada waktu, pasti beres!”, “waktunya kurang tepat sich”, dan masih banyak lagi. Kenapa nggak kita coba untuk mencari kesalahan itu dari dalam diri kita sendiri yang memang kurang pintar me-manage waktu? Lalu berusaha untuk memperbaikinya di waktu-waktu yang akan datang.
Waktunya tiba pula bagi kita semua untuk bersyukur. Begitu banyak sebenarnya yang telah kita nikmati selama perjalanan hidup ini, Bersyukur pula atas segala hal yang telah berhasil diraih selama ini bersama sang waktu. Prestasi apapun yang telah dicapai setidaknya menjadikan kita lebih arif dalam hal memaknainya. Setidaknya seiring berjalannya sang waktu, sekecil apapun, pasti ada hal-hal yang telah kita perbuat yang bermanfaat untuk kemajuan diri kita pribadi khususnya, dan masyarakat umumnya.
Waktu juga begitu penting bagi mereka yang menamakan diri sebagai calon pengusaha. Karena biasanya, untuk memulai take action buka usaha, waktu yang tepat juga menjadi moment penting. Tatkala bertanya kapan harus mulai take action, jawabannya pun sudah pasti nggak ada waktu yang tepat selain ‘sekarang juga’. Konon, berdasarkan pengalaman, kalau tidak segera memulai usaha ‘sekarang juga’, sampai kapanpun nggak bakalan pernah ‘take action’. Akhirnya saat waktu telah berlalu, barulah muncul kesadaran di kemudian waktu, kenapa ya kok nggak memulai pada waktu itu? Bagi yang telah menjadi pengusaha, waktu juga menjadi penting tatkala hendak memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Jangan sampai gara-gara tidak mampu mengatur waktu, peluang usaha yang hadir di depan mata, berlalu begitu saja bersama waktu.
Waktu yang tepat, bagi yang belum memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, segeralah membuat rencana. Seperti apakah tujuan hidup masa depan yang Anda impikan? Jangan sampai untuk diri kita sendiri, kita lalai membuat perencanaan 1 tahun ke depan, 5 tahun ke depan dan juga 10 tahun dari sekarang. Mau diarahkan kemanakah jalan hidup kita? Berusahalah untuk memaksimalkan waktu yang ada dengan seksama mewujudkan segala rencana hidup Anda...?? Karena seiring bertambahnya usia, kalau tetap bercita-cita mulia untuk menjadi TDA, tetapi belum juga take action dan punya usaha, Anda akan semakin berpacu dengan waktu. Sadarilah yang namanya waktu tidak pernah bisa diulang kembali.
Waktu, kok rasanya nggak ada habisnya ya kalau kita bahas lebih jauh lagi. Lha nanti waktunya habis hanya untuk bikin tulisan ini. Padahal kan sudah berkomitmen untuk memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Daripada kehilangan waktu untuk aktifitas yang lain, lebih baik saya sudahi dulu diskusi tentang waktu ini. Takut ah... kan detik demi detik, waktu selalu berlalu…dan berlalu…
Tuesday, December 18, 2007
Sepenggal cerita seputar Qurban
By the way, ngomong-ngomong soal qurban, sejak tinggal di komplek saya [14 tahun] saya selalu sedih melihat daging qurban yang akhirnya menumpuk dan hingga sore belum tersalurkan kepada yang berhak. Tatkala saya tanyakan kepada panitia, katanya semua para penerima daging qurban yang ada di sekitar komplek sudah menerima semua. Yang sisa ini konon hendak disalurkan ke tempat lain, tetapi menunggu kordinasi dari pak ustadzs.
Pernah saya berkeliling ke komplek perumahan sebelah, dan juga yang ada di sekitar, hal serupa juga terjadi. Wuah, gimana nich? Rupanya, kalau di daerah Jabodetabek, ‘keberlimpahan’ seperti ini, bisa-bisa memang sering terjadi. Pernah di tahun berikutnya, saya usul ke panitia qurban agar, pemotongan hewan qurban tsb. dilakukan dalam beberapa hari kemudian. Niatnya, agar distribusinya bisa sampai kepada mereka yang berhak entah di mana. Mereka menjawab prakteknya akan sulit dilakukan karena tukang potongnya juga sulit untuk didatangkan lagi, transportasinya, dan ibu-ibu yang membantu membagi daging qurban juga maunya kerja seharian dan selesai. Atau kita serahkan saja ke panitia qurban nasional yang jangkauan distribusinya se-Indonesia. Jawab mereka, banyak dari pemilik hewan qurban yang tidak menyetujuinya. Ya wis lah!
Bukannya mau ngomongin masalah ikhlas nggak ikhlas berqurban, tapi saya lebih menyoroti masalah pendistribusian daging qurban tsb, yang menurut pengamatan saya kok nampak tidak ‘nyampe’ kepada yang berhak. Padahal di banyak desa di pelosok sana, seperti di Blitar Selatan, Trenggalek, atau entah di mana lagi, banyak kaum papa yang tak tersentuh dengan pembagian daging qurban di Hari Idul Adha ini. Sampai saat ini pun saya selalu masih terusik, dan memikirkan bagaimana agar mereka-mereka yang tinggal jauh di pelosok sana dapat ikut menikmati qurban.
Di tahun 2003 lalu, karena kepingin qurban tsb. bisa ‘nyampe’ ke pelosok desa, saya beli sepasang kambing di Blitar dan saya titipkan ke mas Yanto [suaminya PRT almarhum mertua saya]. Sistemnya adalah ‘paron’ atau bagi hasil, jadi setiap ada anak yang berjumlah genap kita bagi dua, kalau cuma satu ya buat dia. Nantinya, setiap tahun [Idul Adha] mas Yanto harus antar kambing jantan yang menjadi hak saya untuk dijadikan qurban di desa pelosok di Blitar sana. Ide bagusnya, saya nggak perlu repot membeli kambing setiap datangnya Idul Adha.
Tapi ternyata 'matematika' ternak kambing ini [yang harusnya sudah beranak pinak] nggak berjalan seperti yang diharapkan. Hingga Lebaran kemarin, saya ‘ngontrol’ [selama ini memang sengaja saya lupakan, biar tahu-tahu ada banyak], ternyata jumlah kambingnya kok cuna ada tiga ekor, sepasang indukan dan anaknya satu ekor [yg jadi hak mas Yanto]. Berbagai alasan disampaikan oleh mas Yanto ini, katanya pernah beranak 4 tapi kena serangan penyakit dan mati semua, terus pernah beranak lagi 3, pas baru usia 2 minggu juga mati. Yang sekarang ini, tadinya beranak 4 tapi yang 3 ekor juga mati, jadi hanya bersisa satu ekor. Lho kok?
Saya pun hanya bisa menerima penjelasan tsb. apa adanya, namun dengan bertanya-tanya dalam hati. Tapi daripada menduga-duga yang nantinya malah berujung ke buruk sangka atau su-udzon, lebih baik saya ambil hikmahnya saja, dan tetap be positive thinking. Barangkali Allah SWT memang belum mengijinkan rencana & niat baik saya untuk ber-qurban di desa pelosok sana. Atau memang Allah SWT menghendaki saya ber-qurban hanya di seputaran Jabodetabek saja [yg dekat dengan tempat tinggal saya]. Karena bisa jadi memang masih banyak yang belum mendapatkan jatah qurban. Akhirnya, saya putuskan untuk ber-qurban di komplek tempat tinggal saya [‘patungan’ bertujuh dengan tetangga membeli Sapi] dan mempercayakannya ke pengurus musholla yang juga menjadi panitia Qurban.
So, sambil tetap niat sepenuh hati untuk menjalankan ibadah secara pasrah & ikhlas. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar…
Saya bersama seluruh keluarga besar mengucapkan Selamat Idul Adha. Semoga amal & ibadah kita semua diterima Allah SWT, dan juga mendapat ridho-Nya. Amin.
Monday, December 17, 2007
Nama = doa [catatan mastermind TNM-E20]
Begitulah yang terjadi. Dulu di awal ‘ngumpul-ngumpul’, saat temen-temen mastermind Jakarta Timur mencari nama yang pas dengan kiprah dan dream para anggotanya, memang melalui proses sharing dan voting yang benar-benar demokratis. Terpilihlah nama The New Millionaire-Empathy 20 [pak Asep, kalau salah mohon dikoreksi]. Nama ini adalah dream dari para anggota mastermind Jakarta Timur, yaitu keinginan untuk menjadi The New Millionaire, yang memiliki Empathy [kepedulian yang tinggi] untuk selalu bersedaqoh minimal 20% dari hasil usahanya. Itulah yang terpikir di dalam benak kita semua pada saat itu.
Kalau saat ini anggota mastermind TNM-E20, para millionaire baru sudah mulai ‘menapaki’ kemajuan dalam usaha yang ditekuninya, itu berarti doa kami semua yang di-LoA-kan [law of attraction] secara terus menerus, mendapatkan jawaban dari Allah SWT. Amin.
Sebut saja pak Fuad Muftie, yang 14 Desember 2007 lalu, ruko barunya digunakan untuk pertemuan mastermind TNM-E20. Diam-diam, yang sejak bulan puasa lalu nggak ketemu, telah memperoleh big winning-nya yaitu toko Addina V.2.0. [toko busana muslim]. Rukonya besar dan berlantai 3. Harapan kita semua, semoga leverage business yang dilakukannya dapat terwujud, toko Addina BISA menjadi Pusat Grosir Busana Muslim di Jakarta Timur.
Kemajuan bisnisnya juga dialami oleh pak Adi Prayitno. Rencananya Ar-Rahman Distro sebagai distributor, yang selama ini berkonsentrasi pada pakaian muslim anak-anak dan disebar ke beberapa agen, sedang berencana untuk BISA membuka toko Grosir di JaCC bersama teman-teman TDA lainnya. Usaha pendidikan TK yang dikelola istrinya sedang dalam persiapan untuk BERKEMBANG dengan usaha baru bimbel. Sukses pak!
Pak Adhi Budi Satria sharing tentang kiat bagaimana ia BISA membeli rumah barunya di dekat ruko pak Fuad Muftie. Terinspirasi dengan tulisan pak Roni Yuzirman tentang jangan remehkan ‘usaha recehan’, rencananya ia akan membuka outlet mpek-mpek Palembang yang baru di lokasi ini. Dengan banyak outlet yang tersebar di banyak tempat, akan menjadi faktor kali yang memberikan income lebih besar lagi. Ia juga berencana untuk BISA membuka grosir batik di JaCC bersama rombongan TDA.
Ikutan buka toko di JaCC juga akan dilakukan oleh pak Tatang Sulaeman. Selain itu, ia juga menceritakan bagaimana ia BISA membeli kios di PGJ [Pusat Grosir Jatinegara] sebagai usahanya di bidang property, dan beberapa peluang usaha lainnya yang sedang dijajaginya.
Pak Nur Alam juga sharing tentang bagaimana KEMAJUAN Kasyafa Distro-nya. Ia juga menceritakan strategi marketingnya untuk mensiasati suasana pasca Idul Fitri agar usahanya tetap MAJU, serta peluang jualan jilbab merek terkenal yang tadinya tidak banyak peminatnya, tiba-tiba saat ini banyak dicari pelanggannya.
Penggagas dan juga leader mastermind TNM-E20, pak Asep Triono, menceritakan KEMAJUAN beberapa bisnisnya yang dahsyat. Pusat Pendidikan Bahasa Inggris ‘Learning Point’-nya akan BERTAMBAH dengan usaha bimbel. Ia juga cerita tentang KEBERHASILAN memenangkan tender IT. Dan cerita beberapa peluang usaha lainnya yang sedang terus berproses. Selamat boss!
Saya sendiri bersama 2 kakak dan adik, seperti yang sudah saya sharing di blog ini, di hari Lebaran kemarin memang BERHASIL take action usaha baru dengan hitungan waktu yang singkat [+/- 3 minggu], yaitu rental excavator. [baca : “Nggak nyangka berani hutang +/- Rp 1 M”]. Sebuah KEMAJUAN yang layak untuk disyukuri.
Beberapa anggota baru [saya belum hafal nama-namanya] juga ikut bergabung dalam pertemuan mastermind TNM-E20. Mereka juga ada yang sharing tentang kemajuan usahanya. Pak Hantiar, bintang tamu kita yang juga ustadz TDA, banyak memberikan masukan-masukan berharga bagi temen-temen yang berbisnis garment [beliau ini kan boss produsen garment]. Sedangkan untuk anggota lama yang kebetulan berhalangan hadir [pak Rery Indra Kesuma, pak Wahyu Raharjo, pak Hendra & bu Mardiah, pak Adhi Yosef, pak Roup, pak Rully Saeful, dll.], kita berharap mereka semua BISA sharing KEMAJUAN usahanya di pertemuan mastermind berikutnya.
Inilah laporan saya seputar pertemuan mastermind TNM-E20 kemarin. Kemajuan usaha memang mulai nampak hasilnya. Tentunya, ini semua tidak lepas dari kerja keras, kerja cerdas yang selalu disertai doa. Dream kita bersama untuk menjadi “The New Millionaire-Empathy 20” memang mulai mewujud. Yang juga penting, kita semua tetap harus ingat pada komitmen bersama untuk menyisihkan 20% dari hasil usaha untuk bersedaqoh ikhlas [dalam setiap Rp. rejeki yang kita peroleh, di dalamnya ada hak anak yatim, piatu, yatim-piatu, dan kaum dhluafa]. Bravo TNM-E20.
Friday, December 14, 2007
"Kenapa sih kepingin jadi pengusaha? Kepingin cepat kaya, ya?"
Teman saya pun menyitir pendapat Handy Irawan pendiri Frontier Consulting Group, bahwa dari 200 ribu orang kaya Indonesia yang memiliki dana likuid di perbankan sejumlah Rp 1Milyar ke atas tediri dari :
- 50-55 % adalah pedagang
- 8-10 % adalah kaum professional [pengacara, dokter, konsultan papan atas]
- 9-10 % adalah karyawan top level [para manajemen, eksekutif puncak]
- 5-7 % adalah pemilik biro jasa
- sisanya adalah pemilik korporat raksasa, importer/exporter raksasa, investor kakap, dsb.
“Memang dari penjelasan tsb”., lanjut teman saya, “jumlah terbesar orang kaya adalah para pedagang dan para pemilik usaha, tapi alangkah baiknya juga kita melihat fakta sebenarnya yang ada di sekitar kita, bahwa di negeri ini, lebih banyak pedagang & pemilik bisnis [kecil-menengah] yang tidak kaya [pas-pasan] ketimbang yang sungguh-sungguh kaya”. Demikianlah teman saya memberikan semacam warning, agar saya juga mau belajar dari ilustrasi yang diberikannya. Jadi maksudnya kalau mau jadi pengusaha jangan yang ‘nanggung’ gitu.
Setelah merenung sejenak untuk mencerna ilustrasi di atas, saya pun mencoba untuk memberikan pandangan & pendapat saya pribadi. Bahwa keinginan saya untuk jadi pengusaha bukanlah karena kepingin kaya semata. Kekayaan bukanlah tujuan utama, tapi seandainya setelah punya usaha akhirnya menjadi kaya, ya itu kan namanya barokahnya. Dan bukankah sebagai umat Islam kita wajib dan harus kaya? Kalau nggak kaya kan nggak bisa berzakat/beramal/bersedaqoh, nggak bisa menyantuni anak yatim/piatu/dan yatim piatu, nggak bisa ber-qurban, nggak bisa menjalankan ibadah haji, nggak bisa membantu pemberdayaan umat, dsb. Tetapi, terlepas dari uraian di atas, ada banyak hal lain yang meyakinkan langkah saya untuk tetap mantap kepingin menjadi pengusaha.
- Let say, bahwa untuk untuk menjadi pengusaha sukses & kaya memang tidak ada jalan yang mudah dan mulus. Tetapi setidaknya jalan tersebut harus kita coba untuk lewati. Ingat bahwa semua pengusaha & pemilik bisnis yang sukses saat ini, dulunya kan juga berangkat dari usaha kecil-menengah. Siapa tahu nantinya kita dapat masuk ke golongan yang 50-55 % tadi.
- Jadi pengusaha itu ada peluang untuk lebih mandiri dan mapan secara financial sekaligus berpeluang pula memperoleh penghasilan yang besar. Beda dengan karyawan yang di jaman sekarang begitu sarat dengan ketidakpastian.
- Jadi pengusaha memungkinkan kita bebas mengatur waktu sesukanya, tidak terikat dengan jam kantor eight to five, dan tidak menjadi bawahan orang lain. Kayaknya rasanya bisa menikmati waktu untuk kegiatan yang lebih bermanfaat baik untuk ibadah, diri pribadi dan keluarga.
- Jadi pengusaha membuat kita lebih mulia dan secara otomatis mengantar kita menjadi golongan Tangan di Atas, yang dapat banyak memberi [menggaji karyawan] dibanding karyawan yang masih menengadah untuk menrima gaji [Tangan di Bawah] dari para pemilik usaha.
- Jadi pengusaha juga berarti menjalani hidup sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan umatnya untuk berniaga [jadi pengusaha]. Beliau pun mengingatkan bahwa 9 dari 10 pintu rejeki itu berasal dari berniaga [pengusaha].
Terlepas dari diskusi di atas, yang sempat membuat saya me-review kembali niat untuk menjadi business owner, barangkali lebih enaknya kalau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada kita sifatnya lebih jauh ke depan. Misal: “kalau sudah jadi pengusaha apa sih manfaat yang bisa kita berikan kepada orang banyak?” Atau “berapa banyak tenaga kerja yang kita bisa serap, biar para pencari kerja nggak pada jadi TKI di manca negara?”, atau “kalau bisnis sukses & sudah kaya, bagaimana mengusahakan agar Indonesia di tahun 2020 terbebas dari kemiskinan?”.
Tentunya dengan harapan yang positive thinking agar kita lebih semangat, lebih tertantang untuk berkembang maju terus, dan bersama menebar rahmat, daripada hanya berkutat pada persoalan mau jadi pengusaha [TDA] atau tetap menjadi karyawan [TDB]. Okay?
Wednesday, December 12, 2007
Krismon, entrepreneurship, dan TDA
Endro Wahyu M
[TNM-E20, mastermind JakTim]Monday, December 10, 2007
Asal 'ngusul' kata pengusaha
Usut punya usut, saya menjadi ingat ketika tahun 2003 yang lalu, saat ngurus IMB 8 ‘apartemen’ [baca: rumah kontrakan] memang berbarengan dengan memperpanjang KTP. Lha, ternyata oleh teman yang saya mintai tolong mengurusnya [pegawai kelurahan] kolom pekerjaan saya diganti menjadi ‘wiraswasta’, karena persepsinya, saat itu, saya sudah beralih profesi menjadi pengusaha kontrakan.
Namun kalau mem-flashback perjalanan bisnis saya, rupanya ketidaksengajaan ini banyak hikmahnya pula, yang juga sepantasnya saya syukuri. Di dalam buku the Secret, konon, ketidaksengajaan ini justru sangat menguntungkan, karena dengan tertulis sebagai wiraswasta, bisa menjadi Law of Attraction, meaning-nya saya sudah sangat siap ‘ribuan’ persen untuk menjadi pengusaha [nggak cuma visualisasi dan vibrasi, tapi bener-bener sudah tertulis jadi wiraswasta]. Energi positif ‘wiraswata’ menyebar ke alam semesta, lalu menarik berbagai peluang usaha ke dalam diri saya.
Pantes saja sejak punya usaha ‘apartemen’ tsb., kok saya jadi semangat terus untuk mencari-cari peluang usaha lainnya. Jadi kalau hingga saat ini akhirnya saya berhasil memiliki beberapa usaha, ya salah satunya akibat dari pekerjaan saya di KTP sebagai ‘wiraswasta’. [Inilah hebatnya orang Jawa, diotak-atik, akhirnya gatuk juga].
Keuntungan lain, seringkali kalau saya ke Bank, para teller maupun customer service-nya jadi lebih ramah, karena dipikirnya saya pengusaha yang cukup sukses [kalau yang ini GR kali ya? Kan karyawan Bank sekarang memang cantik-cantik & ramah-ramah].
Selebihnya, barangkali kalau saat ini mau melamar ke mertua, pasti langsung okay, kan sekarang memang jamannya pengusaha yang lagi naik daun. [Tapi saya dulu masih mahasiswa ‘ngelamar’, kok diterima ya?]
Kalau ngomongin kekurangannya, paling ya kalau mau ngelamar pekerjaan bisa jadi nggak bakalan diterima. Wong sudah jadi pengusaha kok mau jadi karyawan, jangan-jangan nanti pekerjaannya disambi dengan kesibukan bisnisnya. Terus, nanti malah bikin kantor di dalam kantor.
Kekurangan lain, kalau pas melanggar rambu lalu lintas dan akhirnya kena semprit, pas dilihat KTP nya denda damainya jadi lebih mahal. [Tapi pernah juga kena pemeriksaan dan SIM saya habis, pas lihat KTP malah dibebaskan, karena ternyata polisi tsb. merasa satu daerah dengan kota kelahiran saya, Madiun.]
Nggak enaknya juga, kalau mau iseng nyoba-nyoba minta jatah kompor gas gratisan pemerintah ke kelurahan, pasti nggak bakalan dikasih, hehehe…
Tapi jujur saja, saya sebenarnya lebih seneng ketidaksengajaan di kolom pekerjaan tsb. harusnya tertulis ‘pengusaha’. Entahlah, karena feel-nya kalau kata ‘wiraswasta’ [arti di kamus, orang yang menentukan cara produksi, memasarkannya, dan menentukan permodalannya], kok kayaknya person-nya masih sibuk [kerja sendirian] berkutat, dan bekerja keras di dalam system yang ada. Dan ‘wiraswasta’ tuh kayaknya kata yang khusus buat lelaki [kan wira artinya laki-laki]. Lha terus gimana menyebut wiraswasta wanita? Wiraswastawati? Repot ya?
Beda dengan kata ‘pengusaha’ [di kamus berarti orang yang mengusahakan perdagangan atau industri, dsb. kata lainnya: saudagar, usahawan], yang feel-nya person-nya nggak terlibat banyak dalam keseharian usahanya karena sudah memiliki system yang tertata dan berjalan dengan baik. Sang pengusaha kerjanya tinggal mengontrol saja [kalau perlu via HP atau via e-mail saja]. Kata ini juga bersifat unisex, bisa dipakai baik untuk pria maupun wanita. Lebih asyiik kan?
Atau kalau boleh, sebutannya mengadaptasi dari bahasa Inggris saja : entrepreneur [artinya, pengusaha], businessman [artinya, pengusaha. Tapi takutnya dipelesetin jadi busy-man atau orang yang cuma sibuk kesana-kemari]. Setidaknya, walaupun orang nggak tahu pasti artinya, yang penting dapet feel-nya & ‘keren’nya. Bukankah bangsa kita lebih senang dan menghargai yang berbau kebarat-baratan? Sampai-sampai banyak budaya leluhur kita yang akhirnya di-patent-kan oleh Negara jiran kita, gara-gara nggak diurusi..
Atau adakah kata lain yang lebih pas buat mengganti kata ‘wiraswasta’? Tentunya yang enak didengar di telinga, dan feel-nya bisa mewakili aktivitasnya para pengusaha?
Friday, December 7, 2007
Good news in probation period
Ternyata everything is okay seperti ‘itung-itungan’ kami di atas kertas. Pembayarannya lancar. Alhamdulillah. Cicilan pertama leasing excavator kami yang harus dilunasi setiap tanggal 7 [awal bulan], terbayar tepat pada waktunya. Seperti estimasi di awal hendak take action, setelah dikurangi overhead cost sebulan, di kas perusahaan masih ada sejumlah dana netto yang jumlahnya cukup besar. Cash flow-nya positif dan bagus banget. Berarti progress report dari usaha baru ini sangat menggembirakan. Inilah good news di awal bulan Desember 2007 yang patut untuk kami syukuri, sekaligus menjadi ‘pupuk’ yang menyuburkan semangat kami untuk lebih focus menggarap usaha bersama ini.
Bagi kami, sekecil apapun progress yang dicapai dan sekecil apapun income yang kami terima, nikmat yang telah dilimpahkan Allah SWT di dalam usaha ini wajib untuk disyukuri. Bukankah perjalanan sejauh 1000 langkah selalu dimulai dari langkah yang pertama? Begitu pula dalam hal leasing si Komatsu, lancarnya cicilan 36 kali, kan selalu harus dimulai dari lancarnya cicilan pertama. Semoga. Amin.
Tuesday, December 4, 2007
Menyikapi anak-anak sebagai target market
Orang tua mana sich yang ‘gak sayang anak? Saya yakin sebagai orang tua yang sayang anak, pasti selalu berusaha untuk menyenangkan buah hatinya. Namun sadarkah kita, rasa sayang kita terhadap anak ini ternyata menjadi salah satu bahan pertimbangan utama bagi sebagian produsen yang memang sengaja menyasar anak-anak sebagai target market-nya.
Contoh paling gampang, yang terjadi dalam keseharian kita, begitu ada suara tet tot- tet tot tukang balon, anak pun langsung merengek untuk minta dibelikan. Tukang balon pergi, terdengar lagi, suara penjual es krim keliling dengan musiknya yang khas, anak-anak pun langsung merengek lagi. Tidak lama kemudian, muncul tukang odong-odong yang berkeliling sambil memperdengarkan lagu anak-anak.
Begitu seterusnya, dalam satu hari kalau dihitung bisa ada puluhan pedagang keliling di sekitar rumah kita yang target marketnya adalah anak-anak. Pesan atau ‘jualan’ mereka pun secara langsung dapat dengan mudahnya ditangkap oleh anak-anak. Dan langsung ada action, yaitu rengekan anak-anak untuk dibelikan. Sama halnya, tatkala kita berada di Mall, di terminal, di stasiun, di kereta, di bus, di halte, begitu banyak pedagang yang mebidik anak-anak sebagai target market. Pastinya Anda semua sering mendengar pedagang yang menjajakan dagangannya secara persuasif , “sayang anak… sayang anak…”
Dari TV yang ditonton pun ada ratusan pesan iklan dari produk yang diperuntukkan anak-anak memborbardir setiap harinya. Mulai dari snack, permen, susu, vitamin, suplemen, shampoo, minuman ringan, sepatu, sandal, pakaian, tempat hiburan, dsb. Dan hebatnya, pesan iklan yang sering mereka dengar ternyata bener-bener ‘nancep’ di kepala anak-anak.
Coba, ajak anak-anak ke Indomart terdekat, dan biarkan mereka ambil yang mereka mau, pastinya yang akan diambil adalah produk-produk yang iklannya telah tertanam secara tidak sadar di kepala mereka. Artinya, tugas iklan sebagai penyampai pesan ke target yang diinginkan si produsen betul-betul sampai, dan si target pun ingin membelinya tatkala melihat produknya ada di depan mata..
Namun seringkali, banyak iklan yang targetnya bukan anak-anak bias dan menyasar ke anak-anak. Ini yang harus kita waspadai bersama. Contoh paling gampang ya iklan hand-phone yang seringkali membuat anak-anak sebentar-sebentar minta untuk mengganti hand-phone -nya dengan.model keluaran terbaru. Kalau sudah begini sebagai orang tua, kita harus mampu memberikan pencerahan untuk mereka.
Dari paparan di atas, secara tidak kita sadari ternyata anak-anak usia 4 hingga 13 tahun, saat ini sudah mulai dianggap sebagai konsumen yang prospektif dan potensial. Dan ternyata yang namanya market dengan segmentasi khusus anak-anak itu ada dan besar sekali.
Memangnya anak-anak punya uang untuk membeli itu semua, kok dianggap sebagai target market yang ‘empuk’?
Jangan salah, yang namanya anak-anak itu ternyata mampu mempengaruhi orang tuanya [ibunya] untuk membeli yang mereka mau [ingat, sayang anak… sayang anak]. Selain itu, biasanya, anak-anak kalau menginginkan sesuatu akan membelanjakan seluruh uang yang dimilikinya, bahkan rela memecah ‘celengan’-nya.
Nah berbahagialah bagi mereka yang telah memiliki usaha dengan target market anak-anak. Berarti Anda telah berada di jalur yang potensial. Tinggal bagaimana belajar dari perilaku anak-anak tsb. agar mampu menciptakan terobosan-terobosan baru tatkala menjual produk Anda ke anak-anak yang menjadi target market.
Dan yang juga penting untuk diperhatikan, produk yang Anda jual harus mampu menyentuh emosi dan tataran psikologis si Ibu. Setidaknya ibu harus merasa bahwa produk yang ditawarkan tsb memang pantas dibeli. Karena, pada kenyataanya ibulah yang memutuskan produk tsb. layak dikonsumsi atau dipakai oleh anak-anaknya.
Selebihnya, produk yang Anda tawarkan harus dapat menjamin kesehatan, keselamatan, bikin anak-anak jadi lebih cakep, dapat membantu mereka tambah pintar, dapat menjadikan mereka happy. Karena hampir semua ibu selalu mendambakan anaknya tumbuh pintar, sukses, dan juga happy.
Ingat, tatkala seorang ibu membelikan pakaian yang bagus, makanan dan minuman yang sehat, mainan yang mendidik, bacaan yang menambah wawasan, dsb. ia akan merasa telah melakukan sesuatu yang sangat berharga bagi anak-anaknya sebagai curahan kasih sayangnya.
Adakah pendapat lain yang bisa kita sharing dan diskusikan bersama?
Saturday, December 1, 2007
Krismon berkepanjangan memunculkan VVIP customer?
Kalau kita amati, fenomena ini sangat menarik, dan bagi yang dapat memanfaatkannya sebagai peluang jelas akan memberi keuntungan yang sangat menggiurkan. Lihat saja, saat ini begitu banyak produk-produk mewah bergengsi yang masuk ke Indonesia. Misal, mobil mewah merk apa saja banyak yang dibeli oleh kelompok VVIP customer ini. Sebut saja misalnya mobil Ferrari, Maserati, Jaguar yang limited edition yang banyak dikoleksi oleh orang-orang yang duitnya nggak ‘berseri’. Begitu juga dengan mobil perang Hummer [Humvey] yang dimodifikasi jadi kendaraan sipil eksklusif banyak berlalu-lalang di kemacetan ibu kota. Belum lagi sepeda motor gede [Harley Davidson, Honda, Ducati, Aprilia, dsb.].
Perumahan mewah dan apartemen [yang harganya milyaran] di manapun juga langsung habis terjual. Belum lagi property di California, di Eropa, di Singapura, dsb. yang juga banyak dibeli oleh pemilik duit ‘gede’ WNI ini. Ada juga hand-phone Vertu yang harganya ratusan juta. Begitu juga pakaian, aksesoris, perhiasan, dasi, jam tangan, parfum, dsb. Dan masih banyak lagi. Hebat ya mereka, kita menjadi sangat kecil sekali bila kita bandingkan apple to apple.
Waktu saya mengikuti training di Mark Plus –nya Hermawan Kertajaya, munculnya segmen yang very exclusive ini ditengarai karena mereka memang sangat mementingkan emotional benefit. Prestise dan citra eksklusif memang menjadi karakteristik penting bagi VVIP customers ini. Jadi eksklusifitas dan kelangkaan dari produk yang ditawarkan dilihat sebagai emotional benefit yang terpenting dalam membeli suatu produk. Semakin sedikit dan mahal brand yang ditawarkan semakin disukai dan dibeli. Dan biasanya mereka mempunyai komunitas tersendiri yang limited antarsesama mereka.
Nah, bagi produsen yang dapat memanfaatkan segmen VVIP customers ini dijamin bakal dapat ‘mengeruk’ margin yang tinggi. Dan selamat bagi Anda yang usahanya sudah mampu membidik ke target market yang seperti ini.
Mungkinkah kita menciptakan produk-produk yang berstandar internasional yang nantinya bisa go international? [Kayaknya sih, batik pekalongannya pak Abduh, busana muslimnya pak Roni, selimut pak Hadi Kuntoro, dan jamu Mahkota Dewa-nya bu Ning yang lagi pameran di Singapura bisa mengarah ke sini. Siapa lagi ya, yang lain?]
Jawabannya kembali kepada kita masing-masing. Kalau saya pribadi memang memimpikan kepingin punya brand yang dapat memenuhi emotional benefit para VVIP customers di atas. Bukankah tugas kita bermimpi sedahsyat yang kita bisa, dan berusaha & berkarya untuk mewujudkannya dengan berbagai cara, sekaligus ber LoA [law of attraction] dan berdoa.
Produknya apa? Saya sih mengalir saja karena yang namanya belajar menjadi pengusaha kan mengikuti proses dialektika tiada henti, siapa tahu di tengah ‘perjalanan’ nanti ada yang ‘nge-click’ dan dapat diarahkan untuk menjadi exclusive brand yang ternyata matching dengan emotional benefit kelompok VVIP customers di atas, ya, syukur Alhamdulillah! Kalau bermimpi saja nggak berani kan berarti nggak ada gunanya dong saya ikutan komunitas dahsyat TDA [tangan di atas]. Semoga. Amin.
Salam FUNtastic TDA!