Saat hendak memperpanjang STNK mobil yang saya rentalkan, yang saya mintai tolong ngurus nyeletuk tatkala membaca status pekerjaan saya yang tertera di KTP, “Enak gak sih pak jadi wiraswasta?”. Saya pun menjawab dengan singkat bahwa saya masih karyawan swasta tapi juga punya usaha. Dia pun menyahut lagi, “Lho ini kok di KTP pekerjaan Bapak tertulis sebagai wiraswasta? Wuah tambah enak lagi dong, punya gaji dari kantor tapi juga punya penghasilan dari bisnis?”. Saya lihat di KTP, memang di kolom pekerjaan ditulis sebagai ‘wiraswasta’.
Usut punya usut, saya menjadi ingat ketika tahun 2003 yang lalu, saat ngurus IMB 8 ‘apartemen’ [baca: rumah kontrakan] memang berbarengan dengan memperpanjang KTP. Lha, ternyata oleh teman yang saya mintai tolong mengurusnya [pegawai kelurahan] kolom pekerjaan saya diganti menjadi ‘wiraswasta’, karena persepsinya, saat itu, saya sudah beralih profesi menjadi pengusaha kontrakan.
Namun kalau mem-flashback perjalanan bisnis saya, rupanya ketidaksengajaan ini banyak hikmahnya pula, yang juga sepantasnya saya syukuri. Di dalam buku the Secret, konon, ketidaksengajaan ini justru sangat menguntungkan, karena dengan tertulis sebagai wiraswasta, bisa menjadi Law of Attraction, meaning-nya saya sudah sangat siap ‘ribuan’ persen untuk menjadi pengusaha [nggak cuma visualisasi dan vibrasi, tapi bener-bener sudah tertulis jadi wiraswasta]. Energi positif ‘wiraswata’ menyebar ke alam semesta, lalu menarik berbagai peluang usaha ke dalam diri saya.
Pantes saja sejak punya usaha ‘apartemen’ tsb., kok saya jadi semangat terus untuk mencari-cari peluang usaha lainnya. Jadi kalau hingga saat ini akhirnya saya berhasil memiliki beberapa usaha, ya salah satunya akibat dari pekerjaan saya di KTP sebagai ‘wiraswasta’. [Inilah hebatnya orang Jawa, diotak-atik, akhirnya gatuk juga].
Keuntungan lain, seringkali kalau saya ke Bank, para teller maupun customer service-nya jadi lebih ramah, karena dipikirnya saya pengusaha yang cukup sukses [kalau yang ini GR kali ya? Kan karyawan Bank sekarang memang cantik-cantik & ramah-ramah].
Selebihnya, barangkali kalau saat ini mau melamar ke mertua, pasti langsung okay, kan sekarang memang jamannya pengusaha yang lagi naik daun. [Tapi saya dulu masih mahasiswa ‘ngelamar’, kok diterima ya?]
Kalau ngomongin kekurangannya, paling ya kalau mau ngelamar pekerjaan bisa jadi nggak bakalan diterima. Wong sudah jadi pengusaha kok mau jadi karyawan, jangan-jangan nanti pekerjaannya disambi dengan kesibukan bisnisnya. Terus, nanti malah bikin kantor di dalam kantor.
Kekurangan lain, kalau pas melanggar rambu lalu lintas dan akhirnya kena semprit, pas dilihat KTP nya denda damainya jadi lebih mahal. [Tapi pernah juga kena pemeriksaan dan SIM saya habis, pas lihat KTP malah dibebaskan, karena ternyata polisi tsb. merasa satu daerah dengan kota kelahiran saya, Madiun.]
Nggak enaknya juga, kalau mau iseng nyoba-nyoba minta jatah kompor gas gratisan pemerintah ke kelurahan, pasti nggak bakalan dikasih, hehehe…
Tapi jujur saja, saya sebenarnya lebih seneng ketidaksengajaan di kolom pekerjaan tsb. harusnya tertulis ‘pengusaha’. Entahlah, karena feel-nya kalau kata ‘wiraswasta’ [arti di kamus, orang yang menentukan cara produksi, memasarkannya, dan menentukan permodalannya], kok kayaknya person-nya masih sibuk [kerja sendirian] berkutat, dan bekerja keras di dalam system yang ada. Dan ‘wiraswasta’ tuh kayaknya kata yang khusus buat lelaki [kan wira artinya laki-laki]. Lha terus gimana menyebut wiraswasta wanita? Wiraswastawati? Repot ya?
Beda dengan kata ‘pengusaha’ [di kamus berarti orang yang mengusahakan perdagangan atau industri, dsb. kata lainnya: saudagar, usahawan], yang feel-nya person-nya nggak terlibat banyak dalam keseharian usahanya karena sudah memiliki system yang tertata dan berjalan dengan baik. Sang pengusaha kerjanya tinggal mengontrol saja [kalau perlu via HP atau via e-mail saja]. Kata ini juga bersifat unisex, bisa dipakai baik untuk pria maupun wanita. Lebih asyiik kan?
Atau kalau boleh, sebutannya mengadaptasi dari bahasa Inggris saja : entrepreneur [artinya, pengusaha], businessman [artinya, pengusaha. Tapi takutnya dipelesetin jadi busy-man atau orang yang cuma sibuk kesana-kemari]. Setidaknya, walaupun orang nggak tahu pasti artinya, yang penting dapet feel-nya & ‘keren’nya. Bukankah bangsa kita lebih senang dan menghargai yang berbau kebarat-baratan? Sampai-sampai banyak budaya leluhur kita yang akhirnya di-patent-kan oleh Negara jiran kita, gara-gara nggak diurusi..
Atau adakah kata lain yang lebih pas buat mengganti kata ‘wiraswasta’? Tentunya yang enak didengar di telinga, dan feel-nya bisa mewakili aktivitasnya para pengusaha?
No comments:
Post a Comment