Akhir-akhir ini, setiap kali bertemu orang atau mengalami kejadian apapun di dalam kehidupan sehari-hari, saya selalu berusaha untuk belajar sesuatu atau mencoba mengamati untuk kemudian menganalisanya. Tentunya dengan harapan ada pelajaran berharga yang bisa dipetik.
Beruntunglah saya. Baru-baru ini, saya bisa belajar dari dua orang pengusaha yang di mata saya mereka memiliki the powerful personality [Istilah saya yang mengacu pada kepribadian yang penuh daya juang dan pantang menyerah], dan satu orang yang memiliki kepribadian sebaliknya, yaitu the powerless personality [kepribadian tanpa daya, pesimis dan gampang menyerah].
Yang pertama adalah Heri, salah seorang pengontrak ‘apartemen’ [baca: rumah kontrakan] saya. Di usianya yang masih muda [24 th] selepas SMA di Riau, ia merantau ke Jakarta dan bertekad untuk memiliki usaha sendiri. Setahun yang lalu, ia berani mengontrak kios di pasar Pondok Gede, dan membuka usaha sepuh emas untuk perhiasan. November 2007 lalu, tempat usahanya kena gusur, gara-gara pasar Pondok Gede diratakan dengan tanah untuk dibangun kembali. Meskipun usahanya saat ini terhenti, ia tetap tegar dan terus berusaha untuk mencari lokasi baru, karena di tempat penampungan ex pedagang pasar Pondok Gede dinilainya kurang strategis dan harus membayar sewa lagi. Heri sadar banget bahwa berlarut-larut dengan ‘musibah’ kena gusur & ‘ikutan protes’ bersama pedagang pasar lainnya yang hanya membuang waktu percuma. Lebih baik segera mencari jalan keluar yang terbaik untuk bangkit lagi & meneruskan usahanya, meskipun harus memulai dari nol lagi. Nggak perlu mencari kambing hitam dengan menyalahkan pemerintah, pembangunan & penggusurannya.
Yang kedua adalah pak Irun, pemilik toko kelontong yang terkomplit [udah kayak indomart lho] di pinggir komplek tempat tinggal saya. Saat gas di rumah habis, saya telpon tokonya, nggak lama kemudian langsung terdengar suara motor berhenti di depan pagar rumah. Eh ternyata, pak Irun sendiri yang mengantarkan tabung gas tsb. Salut saya. Tatkala saya tanya, “kok diantar sendiri emangnya ke mana anak buahnya?” Pak Irun pun dengan santainya menjawab, “anak buah pada pulang kampung semua! Jadi ya mesti nganter sendiri.” Padahal setahu saya [saya pernah ngobrol dengannya], pak Irun ini selain punya ‘mini market’ & wartel, juga punya warnet di depan kampus Guna Darma, Depok, yang per tahunnya memasukkan uang ke pundi-pundinya [bersih] sekitar Rp 80 jt-an. Kalau ditambah dengan hasil dari ‘mini market’ & wartelnya [bisa jadi lebih dari warnet-nya], berarti pak Irun ini kan sudah termasuk pengusaha yang sukses. Hebatnya, dia tetap mengutamakan ‘layanan prima’ untuk para pelanggannya. Tidak sedikitpun ia menyalahkan anak buahnya yang pulang, tapi lebih ke masalah tanggung jawab, bahwa berani jadi pengusaha ya harus siap menerima segala resikonya termasuk ‘bercapek-ria’ nganter gas ke pelanggannya.
Dari kedua pengusaha tsb. di atas, saya melihat bahwa sebagai pengusaha, kita harus memiliki the powerful personality. Atau kepribadian tahan banting, penuh semangat, selalu optimis, tak mudah menyerah, selalu positive thinking, dan tidak menyalahkan pihak lain untuk pembenaran dari kelemahan dirinya. Setiap keputusan yang diambilnya selalu penuh keyakinan & percaya diri. Juga sadar sepenuhnya bahwa untuk melaksanakan apa yang diperjuangkan pastinya tidak selalu melawati jalan yang mulus, tetapi selalu ada kerikil-kerikil tajam yang menjadi penghambat. Tinggal bagaimana cara menghadapinya. Kalau toh pernah mengalami kegagalan, tidak akan membuatnya patah semangat. Namun lebih dilihat sebagai proses pembelajaran. That’s all.
Sebaliknya, saya juga belajar tentang the powerless personality atau kepribadian pecundang [gampang menyerah, gampang mencari kambing hitam untuk menutupi ketidakberdayaanya, pesimis, negative thinking, dsb.] dari seorang yang bernama Ma’il, yang tinggalnya juga di pinggiran komplek saya. Yang satu ini, punya 2 anak yang masih sekolah, tetapi jobless. Kalau sedang ‘kepepet’ nggak ada uang, selalu datang ke rumah saya dan minta kerja apa saja. Biasanya, kalau pas begini, saya mintai tolong untuk nyuci mobil & sepeda motor [padahal saya kerjakan sendiri sambil olah raga pagi juga bisa]. Atau ganti lampu yang mati di ‘apartemen’ saya, benerin saluran air yang mampet, benerin genting bocor, dsb., kan nggak lucu kalau nggak bantuin apa-apa dikasih duit.
Suatu kali, dengan penuh keyakinan Ma’il menemui saya, lalu memaparkan rencananya untuk membuka bengkel las [ia punya pengalaman kerja & ‘sertifikat ngelas’], kebetulan dia dapat order-an bikin pagar dari komplek perumahan sebelah. Ia pun minta dimodali. Lalu saya putuskan untuk menolongnya tapi sebatas membeli alat las listrik, bor, gerinda & peralatan penting lainnya. Untuk sewa tempat, nanti dulu, saya kepingin melihat perkembangannya. Komitmennya, setiap kali dapat job ‘ngelas’, dia harus mencicil peralatan tsb. [Rp 25,000 per job]. Nantinya, kalau modal yang saya keluarkan telah kembali, peralatan tsb. menjadi miliknya.
Baru juga dapat order-an 3 kali [cicilan juga baru Rp 75,000], Ma’il sudah malas cari order. Tiap kali datang ke rumah selalu mengeluh bahwa ‘nyari’ order susah, dan kalah bersaing dengan bengkel las lainnya, ujung-ujungnya minta kerjaan lagi [dulu bilangnya mau rajin ‘habis-habisan’ nyari order-an]. Akhirnya sambil nunggu order dari luar, saya ‘ada-adain’ kerjaan ‘ngelas’ seperti : ganti teralis semua jendela rumah saya, bikin pagar teras, bikin menara untuk penampungan air, ganti tutup pompa air, bikin pagar mezzanine, dsb. Terakhir, November 2007 lalu, ia menyerah ‘kalah’, semua peralatan las dikembalikan ke saya. Nah, lho. Duit saya berhenti di peralatan las ini. Wuah payah banget, niat baik saya untuk membuatnya ‘mandiri’ untuk menjadi pengusaha gagal sudah. Saya hanya berpesan kepadanya,”kalau mental kamu masih seperti itu, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa merubah nasib jelek menjadi lebih baik. Dan ingat yang bisa merubah nasib kamu, adalah dirimu sendiri”.
Begitulah sharing saya tentang dua kepribadian yang bertolak belakang. Pelajaran buat saya pribadi, kalau kita tidak pernah berhasil merubah the powerless personality menjadi the powerful personality, maka tidak akan pernah menjadi pemenang [menang melawan ketidakmampuan kita] dan selamanya akan menjadi pecundang atau the looser. Semoga pengalaman saya ini bermanfaat bagi Anda semua.
1 comment:
nggak di jual peralatan las-nya pak ?
Post a Comment