Nampaknya krisis ekonomi di negeri ini kok belum terlihat ada perbaikan ya? Bagi saya banyak indicator kasat mata yang bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari, betapa susahnya orang mencari uang untuk menyambung hidupnya. Ambil contoh, banyak sekarang yang mencari uang dengan cara yang tidak terpuji alias rame-rame ‘merampas’ milik orang lain.
Hal ini terjadi dan menimpa putra saya si Wira 3 minggu yang lalu. Saat ia berangkat hendak kursus drum di Purwacaraka Jatiwaringin, di dalam Angkutan Kota di seputar Pondok Gede tiba-tiba orang di depannya pura-pura terjatuh [kayak orang mabuk] menimpa kakinya. Setelah itu, orang tsb turun dan jalan seperti biasa. Berbarengan dengan si ‘pura-pura mabok’ tadi turun pula 2 orang.
Putra saya belum menyadari, tapi feelingnya merasa ada yang ‘nggak beres’. Lalu dia meraba kantongnya, ternyata HP nya telah raib. Langsung dia teriak “Wuah HP gue ilang… ada yang ngembat”. Seorang ibu [penumpang] & sopir kasih tanda kalau tiga orang yang barusan turun tsb. ‘yang ngerjain’. Langsung dia turun dan mencoba mengejar ‘si pura-pura mabok’ tadi.
Mereka bertiga saat tahu anak saya turun & mengejar, ternyata tidak tinggal diam. ‘Si pura-pura mabok’ pun lari ke arah pasar Pondok Gede. Saat si Wira mengejar, yang 2 orang langsung menghalangi. Wira pun meski masih SMP ternyata gede juga nyalinya. Ia bersitegang dengan 2 orang tsb. dan akhirnya bisa melewati hambatan 2 orang tsb. Sayang ‘si pura-pura mabok’ telah ‘hilang’ di keramaian pasar. Saat berbalik pun 2 begundal lainnya juga sudah tak terlihat lagi.
Hari itu. Wira tetap berangkat kursus drum tapi dengan perasaan campur aduk : marah, jengkel, gundah, dan nggak bisa menerima kenapa harus dia yang menjadi ‘korban’. Karena HP tsb. [1 ½ tahun yang lalu], sebagian dibeli dari uang tabungannya. [Jatah dari saya waktu itu cuma 3jt. Karena dia kepingin beli yang dia mau, walaupun lebih mahal dia subsidi dari tabungannya].
Memang sejak sopir saya mengundurkan diri, setahun yang lalu, fasilitas antar jemput anak-anak dengan mobil pribadi, saya tiadakan. Hanya berangkat sekolah saja saya antar. Pulangnya mereka saya biasakan naik angkot. Termasuk kalau ada les ya harus berangkat naik angkot. Barulah kalau pulangnya kebetulan sama dengan jam-jam saya pulang, ya saya jemput.
Saya pun menasehatinya, agar mengikhlaskan HP kesayangnnya, karena memang ada orang yang ‘lagi kelaparan’. Nanti Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Karena manusia tidak pernah tahu akan ‘rencana Allah’ dalam masa kehidupan yang dijalaninya. Untuk sementara, saya suruh pakai HP bekas kakaknya Nokia 6600. Karena jatah beli HP baru dari saya baru dianggarkan 2 tahun lagi. Tentunya dengan syarat, kalau sudah lulus SMP, berprestasi 5 besar, dan bisa masuk SMA N 8 atau SMA N 81 [SMA unggulan Jakarta].
Saya juga berpesan, agar lain kali, kalau menghadapi situasi berhadapan dengan ‘gerombolan begundal’ seperti itu, mengalah saja [kasih aja apa yang diminta]. Karena biasanya kalau ‘kepepet’ mereka bisa nekad dan mengeluarkan senjata tajam. Lebih baik kita kehilangan sebagian milik kita daripada ‘runyam’. Kecuali kalau ada polisi di dekat tempat kejadian. Tapi biasanya polisi nggak pernah ada kalau saat ada kejadian atau pas dibutuhkan. Dari kejadian tsb. banyak pelajaran yang bisa dipetik dan diambil hikmahnya, agar di kemudian hari bisa lebih bijaksana menyikapinya.
Kejadian lain, pengalaman ini juga menunjukkan betapa orang ‘terpaksa’ mencari rejeki dengan cara menipu sana-sini. Dua minggu yang lalu, di rumah, istri saya ditelepon oleh orang yang mengaku bernama Drs. H. Ilyas MA dari bagian promosinya PT Telkom. Jam dua siang, Ia hendak mengantarkan hadiah TV 21 inch ke rumah, konon karena pembayaran Speedy saya selama ini lancar & nggak pernah telat, maka setelah diundi mendapat hadiah tsb. Istri saya menanggapinya dengan serius, karena yang menelepon santun tutur bahasanya dan mengaku seorang haji.
Selesai ditelepon oleh orang tsb. istri menelepon saya yang sedang berada di bengkel Mitsubishi Saharjo untuk servis rutin. Lalu saya langsung telepon ke nomor 147 untuk menanyakan kebenaran dari ‘rejeki nomplok’ tsb. Eh, ternyata Customer Service Telkom menjelaskan bahwa selama ini tidak ada promosi berhadiah tsb. Jadi jelas itu penipuan. Di saat yang sama, istri saya juga menelepon temennya yang bekerja di PT Telkom. Jadi dia tahu juga kalau sedang ‘dikerjain’. Akhirnya, saya janji kalau selesai urusan bengkel akan segera pulang.
Ternyata, nggak lama kemudian istri ditelepon lagi. Katanya, TV sedang dalam perjalanan. Tapi si bapak tsb. minta tolong untuk dibelikan voucher isi ulang Simpati yang 100 ribuan sebanyak lima voucher. Nanti kalau pas TV sampai di rumah, uangnya saya ganti yang penting ada bonnya. Lalu istri saya iseng nanya, kok beli pulsanya banyak banget ya? Saya aja kalau ngisi paling banyak cuma 100 ribu, kata istri saya. Si bapak masih dengan santunnya bilang bahwa pulsa HP nya sudah mau habis, takutnya nanti rumah ibu belum ketemu, pulsanya habis. Nganter TV nya jadi repot. Kenapa harus 5oo ribu, karena jatah dari kantor, bon pembeliannya harus 500 ribu, katanya. Akhirnya, istri saya bilang agar si bapak bersabar, karena tempat jual pulsanya kan jauh. Dan harus keluar dari komplek dulu. Paling cepat juga sejam katanya. Dan sengaja, istri saya ngomongnya dilama-lamain biar pulsa HP si bapak habis banyak juga. Sekalian nunggu saya datang dari bengkel.
Bener lho, sejam kemudian, pas saya sudah sampai di rumah, si bapak ‘Telkom’ nelpon lagi. Lalu ia menanyakan ke istri saya, apakah voucher pulsa isi ulangnya sudah dibelikan apa belum? Kalau sudah dibeli tolong digosok dan dibacain kode angkanya. Karena pulsa sudah mau habis.. Nanti kalau rumah ibu nggak ketemu dan TV nggak bisa diantar sekarang, repot lho kalau harus ngambil ke Gudangnya Telkom. Dalam hati istri saya ketawa sendiri. Istri saya mencoba ‘menguras’ pulsa si bapak ini dengan menanyakan berbagai hal tentang Telkom & hadiah TV tsb. Terkadang ditinggal sebentar ke dapur untuk supervise asistennya. Terus nanya lagi, bapak di kantor Telkom bisa dihubungi jam berapa aja? Si bapak pun menjawab kalau ia bisa dihubungi 24 jam. Dalam hati, istri saya ketawa [satpam kaleee…]. Akhirnya, si bapak tetap minta dibelikan pulsa. Istri saya janji l/2 jam lagi voucher siap, karena asisten sudah ½ jam yang lalu belinya. Sabar ya pak… katanya. Telpon pun ditutup lagi.
½ jam kemudian, telpon rumah berdering lagi, kali ini giliran saya yang ngangkat. Lalu saya pura-pura nggak tahu duduk persoalannya. Saat si bapak menanyakan ingin bicara sama istri, saya tanya secara detil : bapak siapa, dari mana, ada urusan apa, dsb. Lucunya, si bapak kok nggak berani ngomong ke saya tentang hadiah TV dan voucher tsb. Hanya bilang kalau tadi sudah bicara dengan ibu dan sekarang kepingin bicara sama istri saya.
Lalu saya bilang, saya ini suaminya, semua urusan menyangkut rumah ini saya harus tahu juga. Saking nggak sabarnya [jengkel juga], akhirnya saya bilang ke si bapak kalau cuma mau dibeliin pulsa gratis mbok ya ‘usaha dikit’ datanglah ke rumah saya secara baik-baik. Alamat saya gampang kok dicarinya. Nanya aja ke tukang becak di depan komplek juga tahu, kan saya 9 tahun jadi pengurus RT. Ayo kita ‘ketemuan, kita ngobrol-ngobrol, ngopi, sambil silaturahmi biar dapat temen baru.
Eh langsung niat baik saya disambut dengan sumpah serapah. ‘Kebun binatangnya’ keluar semua [anjing loe, babi loe, monyet loe…] ‘ngerjain gue loe’… Saya pun langsung menimpalinya … tobatlah pak… ‘nyebut’ asma Allah pak… Telpon pun diputus seketika.
Selesaikah? Ternyata selama krisis ekonomi belum tuntas para ‘pemburu rejeki’ dengan cara menipu ya tetap ‘menjamur’ dan ‘gentayangan’ mencari korban baru.
3 hari yang lalu, tepatnya Selasa kemarin, sebuah modus penipuan yang baru lagi mengusik ketenangan istri saya. Jam 12 siang telpon rumah berdering. Seseorang yang mengaku dokter dari rumah sakit Cipto Mangunkusumo bicara ke istri saya, bahwa pak Endro Wahyu Mardiyanto saat ini sedang dalam keadaan gawat [mengalami kecelakaan] dan harus segera dilakukan tindakan operasi, kalau tidak nyawanya tak akan tertolong.
Untuk biaya ‘operasi’ mendadak ini, ibu harus segera mentransfer uang 10 juta ke rekening RS ini [sambil minta dicatat dan diulangi lagi] dalam waktu ½ jam. Pak dokter yang gaya bertuturnya meyakinkan tsb. sempat membuat istri saya kaget bercampur panic dan setengah percaya setengah nggak. Setelah memberikan nomer telepon untuk konfirmasi dan keterangan lebih lanjut, serta warning bahwa nyawa suami ibu harus segera diselamatkan, telepon pun ditutup.
Setelah mengambil nafas panjang sambil menenangkan diri [kebayang kan ‘deg-deg' annya dikhabari suaminya lagi kritis], istri pun menelpon ke HP saya. Saya yang lagi asyik fitness pun agak perlu waktu lama untuk ‘mengangkat’ HP. Terdengar istri saya mengucap puji syukur Alhamdulillah berulang-ulang. Terus nyerocos cerita kejadian tsb. Lalu saya sarankan untuk mengambil hikmah dari kejadian tsb. Istri saya sempat protes [ke Allah kalee ye…] kenapa kok selalu gue yang ‘jadi target sasaran’ modus penipuan semacam ini? Dalam waktu yang berdekatan kok sudah ‘dikerjain’ 2 kali? Saya bilang justru, kita harus bersyukur karena nggak berhasil ‘dikerjain’ dan jadi tahu modus operandi penipuannya.
Saya pun menenangkannya, bahwa dalam waktu bersamaan, bisa jadi ada ribuan orang yang menjadi ‘target sasaran’ sindikat semacam ini yang banyak gentayangan [kayak setan aja]. Karena asumsi saya mereka punya data base ribuan orang lengkap dengan teleponnya [bisa jadi ambil dari buku telepon ya???]. Kan kalau dari ratusan yang ditelepon setiap hari, ada yang kena 10 orang aja kan asyiik banget. Modal cuma pulsa bisa ‘mengeruk’ duit dengan mudahnya. Mudah-mudahan teman-teman dan keluarganya belum pernah mengalami kejadian seperti pengalaman keluarga saya ini.
Beginilah kalau ‘keterpurukan’ ekonomi kian berlarut, kian banyak pula mereka yang ‘terdesak’ secara ekonomi menjadi kreatif untuk mencari rejeki dengan cara yang tak terpuji. Bila menunggu dan berharap pemerintah ‘bisa’ mengentas masyarakat dari ‘keterpurukan’ jelas ‘jauh panggang dari api’.
Jalan keluarnya sepertinya ya harus dari ‘kita-kita’ juga. Bila kita-kita semua yang telah tertular virus entrepreneurship masing-masing mampu membuka usaha yang bersekala menengah dan besar, setidaknya bisa membantu membuka lowongan pekerjaan. [bila ada sejuta pengusaha baru, minimal kan bisa menggaji 2 jutaan pengangguran]. Tentunya dengan harapan dan tujuan agar kiprah kita semua bisa memperkuat perekonomian bangsa dan agar Negara ini mampu lepas dari ‘krismon’ yang berkepanjangan. Kalau niat kita tulus dan mulia, pasti Allah mendengarkan doa kita semua. Semoga.